Selasa, 28 Desember 2010

KABAYAN JADi MILYUNER


Sama halnya seperti kisah-kisah Abu Nawas dan Nasruddin yang termuat di berbagai literatur yang berasal dari negeri Arab, Kabayan adalah sebuah tokoh imajinatif populer dari Indonesia yang seringkali memuat dan menyindir mengenai bentuk tatanan kehidupan masyarakat di kala itu pada setiap penceritaannya. Merupakan tokoh yang berasal dari kisah-kisah masyarakat Sunda, Kabayan kemudian menjadi sebuah tokoh ikonik bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan setelah kisahnya sering dipopulerkan dalam bentuk buku maupun dalam bentuk rilisan film layar lebar dan serial televisi.
Setelah terakhir kali diangkat dalam bentuk film pada Si Kabayan: Bukan Impian (2000), kini karakter ikonik masyarakat Sunda tersebut kembali coba diperkenalkan pada sebuah generasi baru yang berbeda lewat film karya sutradara Guntur Soeharjanto (Otomatis Romantis, 2008), Kabayan Jadi Milyuner. Dengan naskah yang ditulis oleh Cassandra Massardi, kisah Kabayan Jadi Milyuner sepertinya mencoba menggabungkan beberapa kisah Kabayan yang sebelumnya telah pernah dihadirkan di layar lebar, mulai dari kisah perkenalannya dengan wanita yang kelak akan menjadi jodohnya, Iteung, hingga memasukkan sedikit kisah ‘berbau mistis’ mengenai jin yang ia miliki, yang sebelumnya merupakan garis cerita utama pada kisah Si Kabayan dan Anak Jin (1991). Bedanya, kisah Kabayan kini memiliki latar belakang cerita di masa sekarang sekaligus menghadapkan keluguannya dengan perkembangan zaman.
Diperankan oleh Jamie Aditya, Kabayan kini dikisahkan harus menyelamatkan Pesantren As-Salam pimpinan Ustadz Soleh (Slamet Rahardjo) yang kini sedang terancam keberadaannya akibat niat seorang pengusaha real estate, Bos Rocky (Christian Sugiono), yang ingin membeli tanah pesantren tersebut dan membangun sebuah bangunan berfasilitas modern di sana. Jelas Rocky tidak akan mendapatkan tanah tersebut dengan mudah. Kabayan serta teman baiknya, Armasan (Amink), berhasil melakukan segala cara untuk dapat mencegah mimpi Rocky untuk dapat menjadi nyata. Walau begitu, Rocky ternyata masih menyimpan satu senjata rahasia yang sepertinya tidak akan dapat ditolak oleh Kabayan dengan mudah.
Rahasia tersebut berwujud seorang wanita cantik bernama Iteung (Rianti Cartwright), akuntan Rocky yang berwajah bule namun ternyata memiliki darah Sunda yang sangat kental. Mengetahui kalau Kabayan diam-diam memendam rasa terhadap Iteung, Rocky kemudian merayu Iteung agar mau untuk berpura-pura jatuh cinta kepada Kabayan untuk kemudian membujuknya agar mau menandatangani surat pembelian tanah. Dan rencana Rocky tersebut berhasil dengan mudah! Kini, tanah pesantren telah berpindah kepemilikan dan sialnya, semenjak itu pula Iteung tidak pernah lagi menunjukkan dirinya di hadapan Kabayan. Demi mengejar rasa cintanya, sekaligus berusaha kembali untuk merebut tanah pesantren, Kabayan bersama Armasan akhirnya nekat untuk pergi ke Jakarta dan menemui Iteung.
Ada banyak hal yang sangat mengganggu dari Kabayan Jadi Milyuner, khususnya pada naskah cerita film ini. Kisah cerita yang coba dihadirkan terkesan seperti merupakan potongan-potongan kisah Kabayan di film terdahulunya yang coba disatukan dalam deretan adegan film untuk menjadi sebuah kesatuan jalan cerita. Tidak masalah jika sang penulis naskah berhasil menyatukannya dengan menempatkan masing-masing kisah tersebut secara teratur dan menyatu antara kisah yang satu dengan yang lain. Sayangnya, kisah Kabayan Jadi Milyuner seringkali terasa melompat antara adegan yang satu dengan adegan yang lain, dengan bertambahnya durasi semakin membuat jalan cerita film ini semakin absurd dan tidak jelas kemana arah dan tujuannya. Dengan durasi film kira-kira sepanjang 100 menit, Kabayan Jadi Milyuner terasa seperti dipanjang-panjangkan dan berjalan sangat membosankan!
Beruntung, film ini memiliki Amink. Komedian yang satu ini berhasil menjadi satu-satunya nilai plus yang dapat diperoleh selama menyaksikan jalan cerita Kabayan Jadi Milyuner. Beberapa kali, di saat yang penting pula, tingkah polah dan dialog konyol yang dimiliki oleh Armasan, berhasil diterjemahkan dengan sangat baik oleh Amink menjadi sebuah penampilan yang sangat menghibur. Christian Sugiono juga sebenarnya tampil lumayan sebagai seorang tokoh antagonis. Sayangnya, karakter yang ia mainkan kemudian harus terjebak ke dalam penceritaan yang berusaha terlihat komikal namun justru sama sekali tidak berhasil.
Jamie Aditya harus diakui mampu membawakan karakter Kabayan dengan cara yang tidak buruk – Jamie sendiri telah sering berperan sebagai Kabayan atau seorang yang berdarah Sunda ketika ia masih menjadi VJ di MTV Indonesia. Namun, ketika ia harus tampil berdampingan dengan Rianti Cartwright yang berperan sebagai Iteung, sangat dapat dirasakan bahwa keduanya sama sekali tidak memiliki chemistry yang pas. Hal ini menjadi faktor besar mengapa film ini terasa sangat tidak dapat dinikmati dengan baik ketika keduanya tampil di dalam jalan cerita. Sementara talenta akting luar biasa dari duet aktor dan aktris senior, Didi Petet dan Meriam Bellina, yang berpasangan sebagai Abah dan Ambu, harus menyerah pada karakterisasi dangkal yang dituliskan untuk karakter mereka. Walau begitu, lelucon terbesar dari Kabayan Jadi Milyuner adalah penampilan Melly Goeslaw, yang kali ini tidak hanya meneror penonton dengan lagu-lagu berlirik cheesy yang dapat didengar di sepanjang film, namun juga terlihat menggelikan dengan dandanan yang sama mengganggunya dengan kemampuan aktingnya di film ini.
Dengan karakter yang telah sangat familiar dan jajaran pemeran yang sebenarnya cukup menjanjikan, Kabayan Jadi Milyuner harus diakui terlihat seperti sebuah kesempatan besar yang terbuang dengan percuma akibat buruknya jalan cerita yang dihadirkan. Naskah yang dihadirkan benar-benar sangat tidak mampu untuk menghadirkan sebuah tontonan yang dapat menghibur setiap penontonnya. Membosankan dan dengan karakterisasi yang sangat dangkal. Ini yang kemudian menjadikan jajaran pemeran film ini gagal memberikan permainan terbaiknya, selain faktor miscast yang terasa terjadi pada beberapa karakter. Sebuah komedi yang sangat mengecewakan.
Rating: 2.5 / 5
Kabayan Jadi Milyuner (Starvision, 2010)
Kabayan Jadi Milyuner (2010)
Directed by Guntur Soeharjanto Produced by Chand Parvez Servia Written by Cassandra Massardi Starring Jamie Aditya, Rianti Cartwright, Amink, Christian Sugiono, Slamet Rahardjo, Didi Petet, Meriam Bellina, Melly Goeslaw, Shogi Indra Dhuaja Music by Anto Hoed & Melly Goeslaw  Distributed by Starvision Running time 100 minutes Country Indonesia Language Indonesian

TRON LEGACY

Ketika Walt Disney merilis Tron untuk pertama kalinya pada tahun 1982, film tersebut mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para kritikus film dunia. Walau kebanyakan pendapat yang muncul turut menggarisbawahi kekurangan Tron dalam memberikan jalan cerita yang kuat, namun penggunaan teknologi yang jauh lebih maju dari masanya di dalam jalan cerita Tron mampu menjadikan film ini meraih banyak penggemar yang terus memujanya hingga saat ini. Wajar jika hampir 30 tahun kemudian, Walt Disney memutuskan untuk membangkitkan kembali memori banyak penggemar film dunia akan Tron dengan membuatkan film tersebut sebuah sekuel, Tron: Legacy, dengan tentu saja menggunakan  teknologi perfilman yang telah amat jauh berkembang (baca: eksploitasi teknologi 3D).
Dua aktor dari film pertama Tron, Jeff Bridges dan Bruce Boxleitner, kembali memerankan karakter Kevin Flynn dan Alan Bradley di sekuel ini. Namun, Bridges dan Boxleitner kali ini tidak berada pada kursi pemeran utama. Tokoh utama pada Tron: Legacy kini berada pada karakter anak Kevin Flynn, Sam Flynn, yang diperankan oleh aktor Garrett Hedlund. Dikisahkan, semenjak terakhir kali bertemu 20 tahun yang lalu, Sam masih saja terus dihantui bayang-bayang sang ayah yang tak kunjung kembali pada keluarganya. Rasa penasaran akan dimana sebenarnya keberadaan sang ayah sendiri kini telah bercampur dengan sedikit kecurigaan bahwa sang ayah memang sengaja meninggalkan dirinya. Ini terus terjadi hingg akhirnya teman akrab sang ayah, Alan Bradley (Boxleitner), mengungkapkan bahwa dirinya menerima sebuah pesan misterius yang mungkin saja berasal dari Kevin Flynn.
Sedikit penasaran akan hal tersebut, Sam akhirnya mengunjungi tempat lokasi permainan milik keluarganya yang telah lama terabaikan, Flynn’s Arcade. Secara tidak sengaja, Sam kemudian menemukan kantor rahasia sang ayah yang kemudian justru membawanya ke sebuah dunia yang berada di dalam komputer, The Grid. Tidak disangka, di sanalah Sam kembali bertemu sang ayah. Kevin sendiri kemudian menjelaskan dirinya selama ini terjebak di dalam The Grid dan tidak bisa keluar karena The Grid dipimpin oleh Clu, alter ego yang dulu dibuatnya untuk membantunya namun kemudian malah berbalik mengkhianatinya. Di dalam The Grid, Kevin sendiri tinggal bersama sebuah program komputer yang bernama Quorra (Olivia Wilde). Kini, bertiga mereka harus menemukan jalan untuk keluar dari The Grid sebelum satu-satunya pintu keluar dari dunia tersebut tertutup untuk selamanya.
Hampir 30 tahun jeda antara film pertama dengan sekuelnya dan telah direncanakan semenjak tahun 2005, sepertinya tidak membuat Walt Disney belajar banyak. Tron: Legacy masih menyerupai seri pertamanya: sebuah film yang sangat memikat di bidang tata visual dan teknologi namun jauh tertinggal dalam bidang naskah ceritanya. Jalan cerita film ini bergerak terlalu sederhana. Begitu sederhananya jalan cerita Tron: Legacy sehingga terkadang film ini hadir tanpa adanya sebuah konflik besar yang mampu mengikat perhatian para penontonnya. Berjalan datar, tanpa kehadiran emosi dan terlihat sama sekali tidak menarik.
Tidak hanya memiliki jalan cerita yang ‘terlalu sederhana,’ Tron: Legacy juga kebanyakan diisi oleh dialog-dialog pendek yang bahkan terdengar terlalu bodoh untuk didengarkan. Hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan tata visual film yang begitu imajinatif sehingga seringkali mampu mengisi kekosongan yang disebabkan oleh kurang berkembangnya naskah cerita. Berbicara mengenai tata visual, Tron: Legacy harus diakui adalah sebuah sajian yang sangat, sangat mengagumkan. Disajikan dalam teknologi 3D yang cukup mumpuni, warna-warna terang yang tampil di sepanjang jalan cerita film ini terlihat begitu memikat. Dipadukan dengan special effect yang juga tak kalah mengagumkannya, Tron: Legacy jelas adalah sebuah tontonan wajib bagi mereka yang memang lebih mengedepankan untuk menikmati tampilan visual daripada jalan cerita dari sebuah film.
Selain tata visual, tata suara dan tata musik adalah bagian teknis lain dari Tron: Legacy yang berhasil tampil mengungguli kualitas naskah ceritanya. Dikemas oleh duo pengusung aliran elektronika asal Perancis, Daft Punk, tata musik Tron: Legacy berhasil tampil menghentak dan mengisi setiap adegan dengan sangat sempurna. Perpaduan antara tata visual yang sangat memikat dan tata musik yang begitu menghentak inilah yang kemudian berhasil menghindarkan Tron: Legacy menjadi sebuah film yang memiliki kualitas sangat mengecewakan.
Naskah yang lemah memang akhirnya harus ‘memaksa’ para jajaran pemeran Tron: Legacy untuk tampil seadanya: tampil tanpa kemampuan akting yang memikat serta tampilan emosi yang kuat. Namun setelah melihat apa yang ditampilkan Tron: Legacy secara keseluruhan, kemampuan akting sepertinya bukanlah sesuatu yang sangat diperlukan di film ini. Diisi dengan banyak tata visual hasil karya komputer yang tampil memukau – merupakan film berteknologi 3D terbaik dari Walt Disney — dan kemudian diiringi dengan tata musik yang mampu memberikan hentakan dan mengisi emosi di setiap adegan, Tron: Legacy terlihat sama sekali melupakan bahwa naskah cerita yang padat dan berisi merupakan sesuatu yang sangat berarti dalam sebuah film. Indah untuk dilihat, namun sama sekali tidak berisi apapun yang dapat membuatnya menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diingat.
Rating: 3 / 5
Tron: Legacy (LivePlanet/Walt Disney Pictures, 2010)
Tron: Legacy (2010)
Directed by Joseph Kosinski Produced by Sean Bailey, Jeffrey Silver, Steven Lisberger Written by Adam Horowitz, Edward Kitsis (screenplay), Adam Horowitz, Edward Kitsis, Brian Klugman, Lee Sternthal (story), Steven Lisberger, Bonnie MacBird (characters) Starring Jeff Bridges, Garrett Hedlund, Bruce Boxleitner, Olivia Wilde, Michael Sheen, James Frain, Beau Garrett, Cillian Murphy Music by Daft Punk Cinematography Claudio Miranda Editing by James Haygood Studio LivePlanet Distributed by Walt Disney Pictures Running time 127 minutes Country United States Language English

Gulliver’s Travel

Di tahun 1726, penulis Jonathan Swift merilis sebuah novel berjudul Gulliver’s Travel, yang tidak hanya merupakan sebuah novel yang berisi banyak cerita dengan tingkat imajinasi yang tinggi, namun juga berisi banyak sindiran-sindiran sosial mengenai kehidupan masyarakat di kala itu. Novel itu kemudian meraih kesuksesan besar, tidak hanya berhasil memperoleh banyak pujian dari para kritikus sastra, namun juga digemari oleh banyak pembacanya. Tidak mengherankan jika kemudian novel ini banyak diadaptasi ke dalam bentuk serial radio, televisi maupun film.
Rob Letterman (Monsters vs. Aliens, 2009) adalah sutradara terakhir yang mencoba mengangkat novel karya Swift tersebut ke layar lebar. Berbeda dengan versi adaptasi lainnya, Letterman bersama duo penulis naskah, Joe Stillman dan Nicholas Stoller, sepertinya berusaha untuk menjadikan Gulliver’s Travel sebagai sebuah tayangan hiburan belaka dengan cara meningkatkan esensi komedi dari naskah cerita Gulliver’s Travel. Sebuah pilihan yang wajar sebenarnya, namun dengan sajian komedi yang ditawarkan di Gulliver’s Travel – yang kebanyakan berisi komedi-komedi bodoh yang sama sekali tidak lucu – versi teranyar dari adaptasi Gulliver’s Travel justru berakhir sebagai sebuah kekecewaan yang sangat besar.
Mengadaptasi kisahnya ke zaman modern, komedian Jack Black berkesempatan untuk memerankan sang tokoh ikonik, Gulliver. Bernama lengkap Lemuel Gulliver, seorang pria yang selama 10 tahun telah menghabiskan karirnya bekerja sebagai pemimpin bagian surat menyurat di sebuah media massa New York, dan hampir selama masa itu pula memendam perasaannya kepada Darcy (Amanda Peet), redaktur bagian tulisan perjalanan di media tersebut. Demi mendekati Darcy, Gulliver kemudian menerima pekerjaan sebagai reporter perjalanan dan melaksanakan tugasnya untuk berkelana ke Segitiga Bermuda.
Tidak disangka, kapal yang ditumpangi oleh Gulliver kemudian karam dan menyebabkannya terdampar di Kepulauan Lilliput. Berbeda dengan kehidupan manusia normal lainnya, penghuni kepulauan ini merupakan anggota Kerajaan Lilliput yang kesemuanya memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil. Di saat dirinya terdampar, Kerajaan Lilliput sendiri sedang menghadapi serangan dari Kerajaan Blefuscu. Dalam sebuah ketidaksengajaan, Gulliver berhasil menyelamatkan para anggota kerajaan dari serangan pasukan Blefuscu. Gulliver kemudian menjadi orang yang sangat terpandang dan dihormati di seluruh negeri. Namun, penghargaan yang diterima Gulliver tersebut ternyata menyebabkan rasa kecemburuan pada diri General Edward (Chris O’Dowd) yang kemudian bersekongkol dengan pasukan Blefuscu untuk menyerang Kerajaan Lilliput.
Adaptasi Gulliver’s Travel yang dilakukan duo penulis naskah, Joe Stillman dan Nicholas Stoller, benar-benar meninggalkan seluruh esensi pesan-pesan sosial yang banyak termuat dalam novel karya Jonathan Swift. Sebagai gantinya, selama 85 menit durasi Gulliver’s Travel berjalan, film ini kemudian dipenuhi dengan banyak lelucon berupa dialog-dialog (yang seharusnya) lucu dan parodi beberapa produk dan film populer di dalamnya. Sayangnya, tidak satupun dari lelucon yang dihadirkan tersebut berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dan menjadikan naskah cerita Gulliver’s Travel sebagai sebuah cerita berantakan yang sama sekali tidak menarik untuk disimak.
Yang paling mengenaskan, seluruh jajaran pemeran Gulliver’s Travel sepertinya telah dengan sangat sadar akan kelemahan naskah cerita film ini. Selain Jack Black, yang menjadi pemeran utama film ini, tidak ada satupun di antara jajaran pemeran yang terlihat begitu “tertarik” untuk menghidupkan karakter yang mereka mainkan. Setiap pemeran terlihat tampil seadanya serta terdengar mengucapkan dialog-dialog mereka dengan intonasi yang sangat datar. Mulai dari aktris Emily Blunt, Amanda Peet — yang akan membuat semua orang tidak percaya bahwa keduanya mau bermain di film sekelas ini –, Jason Segel dan para pemeran lainnya sama sekali tidak terlihat bersemangat untuk bermain dan berada di film ini. Melihat jajaran pemeran Gulliver’s Travel seperti melihat jajaran aktor yang dipaksa untuk memainkan karakter mereka.
Untuk Jack Black sendiri… well… Black memang terlihat mampu membawakan Gulliver dengan karakterisasi yang… menyerupai dengan karakter-karakter lain yang pernah ia mainkan. Karakter seorang Gulliver justru berubah menjadi Jack Black, seorang aktor konyol yang sepertinya berusaha membuat lelucon dari kalimat apapun yang hendak ia katakan. Beberapa berhasil, namun kebanyakan justru terdengar sangat bodoh dan menyebalkan.
Jika ada satu hal yang dapat dinikmati dari Gulliver’s Travel adalah kemampuan pihak produksinya dalam menghasilkan special effect yang cukup mumpuni di sepanjang film ini. Interaksi antara Gulliver yang berukuran raksasa dengan para masyarakat Lilliput yang berukuran mini terlihat sangat alami dan tanpa permasalahan yang berarti. Pihak 20th Century Fox juga menyediakan versi konversi 3D dari Gulliver’s Travel, yang sayangnya, sama seperti film-film yang ingin memanfaatkan teknologi 3D untuk meningkatkan harga tiket, sama sekali tidak menawarkan apapun ke dalam jalan cerita film ini.
Ada perbedaan yang cukup besar antara film yang memiliki kategori sebagai sebuah hiburan ringan dengan… well… sebuah film yang murni adalah sebuah produk dari kebodohan. Sebuah film yang dapat menjadi hiburan ringan, tidak peduli betapa sederhananya jalan cerita yang ditawarkan, tetap mampu memberikan sesuatu yang esensial ketika menghadirkannya kepada para penontonnya. Untuk Gulliver’s Travel, sayangnya tidak ada satupun yang benar-benar dapat diunggulkan. Mulai dari jalan cerita yang berisi lelucon kekanak-kanakan, dialog konyol yang sangat bodoh hingga para pemerannya yang seperti tidak dengan benar-benar mau memerankan karakter mereka. Sangat membosankan.
Rating: 2 / 5
Gulliver's Travel (20th Century Fox, 2010)
Gulliver’s Travel (2010)
Directed by Rob Letterman Produced by John Davis, Gregory Goodman, Ben Cooley, Jack Black Written by Joe Stillman, Nicholas Stoller (screenplay), Jonathan Swift (novel) Starring Jack Black, Emily Blunt, Jason Segel, Amanda Peet, Billy Connolly, Catherine Tate, Ozzy Osbourne, T. J. Miller, Chris O’Dowd Music by Henry Jackma Cinematography David Tattersall Editing by Maryann Brandon Studio Davis Entertainment Distributed by 20th Century Fox Running time 85 minutes Country United States Language English

The Girl who Played with Fire !!!


Adaptasi film dari novel kedua dalam trilogi Millenium karya penulis asal Swedia, Stieg Larsson, The Girl who Played with Fire, menemui sebuah perubahan besar-besaran ketika sutradara Niels Arden Oplev, yang sukses mengarahkan The Girl with the Dragon Tattoo, digantikan posisinya oleh Daniel Alfredson. Tidak hanya dari sisi pengarahan, naskah cerita yang awalnya ditangani oleh duet Nikolaj Arcel dan Rasmus Heisterberg kini ditangani oleh seorang penulis naskah baru, Jonas Frykberg. Apakah hal ini memiliki pengaruh terhadap kualitas The Girl who Played with Fire jika dibandingkan dengan The Girl with the Dragon Tattoo? Sangat!
Perubahan yang paling dapat dirasakan adalah The Girl who Played with Fire memiliki intensitas cerita yang berjalan lebih dramatis. Kurangnya interaksi antara dua karakter utama juga menyebabkan film ini memiliki daya tarik yang kurang kuat jika dibandingkan dengan film pendahulunya. Kualitas The Girl who Played with Fire cenderung menurun? Mungkin saja. Namun tidak ada yang akan menyangkal bahwa film sekuel ini masih sama menegangkannya dengan penambahan banyak adegan action di dalam jalan ceritanya.
Jika The Girl with the Dragon Tattoo mengenalkan penontonnya pada salah satu karakter heroine paling  menarik di sepanjang sejarah perfilman, Lisbeth Salander (Noomi Rapace), dan petualangannya yang menyinggung masa lalu jurnalis Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist), kini The Girl who Played with Fire seperti memutar roda tersebut dan menempatkan Mikael untuk menyelesaikan misteri pembunuhan yang melibatkan masa lalu Lisbeth ketika sedang berada dalam masa terapi jiwanya.
Permasalahan dimulai ketika salah satu jurnalis majalah Millenium dan kekasihnya menjadi korban sebuah pembunuhan. Ini menarik perhatian Mikael karena jurnalis tersebut bersama kekasihnya sedang berusaha menyelesaikan sebuah tulisan yang akan menyingkap mengenai skandal seks beberapa petinggi polisi dengan para gadis di bawah umur. Nama Lisbeth Salander, yang baru saja kembali ke Stockholm setelah setahun berada di luar negeri, mulai disebut-sebut terlibat setelah sebuah senjata api ditemukan di apartemen sang jurnalis dengan sidik jarinya berada di senjata api tersebut.
Tuduhan kepada Lisbeth semakin menajam setelah pengawasnya, Nils Erik Bjurman (Peter Andersson), juga ditemukan tewas beberapa hari setelahnya. Semua orang, termasuk Mikael, kini berusaha menemukan tempat keberadaan Lisbeth. Lisbeth sendiri setelah mengetahui bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah kasus yang sama sekali tidak ia lakukan, perlahan-lahan mulai mengumpulkan bukti untuk mengetahui siapa yang melakukan hal tersebut pada dirinya. Sebuah tindakan yang kemudian akan menyingkap mengenai masa lalu yang kelam dari seorang Lisbeth Salander.
Dramatisasi yang paling jelas dapat dirasakan tentu saja berasal dari sisi cerita yang lebih menggali masa lalu kelam Lisbeth Salander di sepanjang jalan cerita. Hal ini sebenarnya tidak buruk, bahkan memberikan kesempatan kepada para penonton untuk mengenal heroine ini dengan lebih baik. Hanya saja, jika mereka telah mengikuti The Girl with the Dragon Tattoo dan mengharapkan lebih banyak aksi dari duet Lisbeth dan Mikael tentu akan merasa sedikit kecewa. Apalagi di sepanjang jalan cerita, Lisbeth dan Mikael sama sekali tidak berinteraksi, kecuali satu kali lewat sebuah pesan yang dituliskan oleh Lisbeth di laptop Mikael. Hal ini seperti mengurangi kepadatan jalan cerita yang telah tercipta pada film pertama seri Millenium ini.
Sutradara Daniel Afredson juga sepertinya terjebak dengan jalur drama yang dituliskan oleh Jonas Frykberg ini dengan memberikan tone cerita yang lebih lamban. Menampilkan lebih banyak karakter yang telibat di dalam jalan cerita dengan menghadirkan jumlah adegan action yang lebih sedikit daripada sebelumnya, membuat The Girl who Played with Fire terkesan tanggung dalam tampilannya sebagai sebuah drama action yang jelas akan membuat film ini cenderung terkesan sedikit membosankan bagi beberapa orang. Walau begitu, bukan berarti kualitas film ini menurun drastis, apalagi dengan penampilan Noomi Rapace yang semakin terikat dengan karakternya, Lisbeth Salander.
Setelah memperkenalkan sisi yang misterius yang tangguh di film pertamanya, Rapace terlihat mampu untuk memperlihatkan sisi sensitivitas dirinya ketika karakter yang ia perankan harus berurusan dengan masa lalunya yang kelam dan sepertinya bukan sesuatu yang sangat diinginkan. Walau secara keseluruhan The Girl who Played with Fire menyajikan adegan action yang lebih minim, namun Rapace beberapa kali sempat terlibat dalam adegan yang mengharuskannya menggunakan kemampuan fisiknya. Dan ini ia lakukan dengan sangat baik dan semakin memperkokoh imej heroine Lisbeth Salander yang ia bawakan.
Karakter Mikael Blomkvist yang diperankan oleh aktor Michael Nyqvist, yang pada The Girl with the Dragon Tattoo tampil sama menonjolnya dengan karakter Lisbeth Salander, di film ini tampaknya harus sedikit mengalah karena harus membagi jalan ceritanya dengan banyak karakter lain sementara karakter Lisbeth Salander memperoleh perhatian utama dalam jalan cerita. Walau begitu, kehadiran aktor Michael Nyqvist tetap memberikan poin tersendiri bagi jalan cerita film ini.
Mungkin sangat sulit untuk menandingi The Girl with the Dragon Tattoo, sebuah film drama action yang sangat sukses menggabungkan banyak adegan action – yang istimewanya dilakukan oleh seorang heroine – dengan berbagai keunggulan teknis dengan jalan cerita yang sangat mengikat. Pergantian sutradara dan penulis naskah memberikan pengaruh yang signifikan: The Girl who Played with Fire lebih cenderung menjadi sebuah kisah drama dengan tone cerita yang sedikit melamban. Untungnya dua pemeran karakter utama, Noomi Rapace dan Michael Nyqvist masih memberikan permainan terbaik mereka. Sebuah penurunan kualitas jika dibandingkan dengan film pertamanya, namun bahkan dengan durasinya yang mencapai 129 menit, The Girl who Played with Fire tetap merupakan sebuah film yang menyenangkan untuk dilihat.
Rating: 3.5 / 5
The Girl who Played with Fire (Zodiak Entertainment, 2009)
The Girl who Played with Fire (2009)
Directed by Daniel Alfredson Produced by Soren Staermose, Jon Mankell Written by Jonas Frykberg (screenplay), Stieg Larsson (novel) Starring Michael Nyqvist, Noomi Rapace, Lena Endre, Peter Andersson, Per Oscarsson, Sofia Ledarp, Yasmine Garbi, Georgi Staykov, Annika Hallin, Tanja Lorentzon, Paolo Roberto, Johan Kylén, Magnus Krepper, Ralph Carlsson, Micke Spreitz, Anders Ahlbom Music by Jacob Groth Cinematography Peter Mokrosinski Editing by Mattias Morheden Distributed by Zodiak Entertainment Running time 129 minutes Country Sweden, Denmark, Germany Language Swedish, French, English

DORIAN GRAY

Walau hanya memiliki satu karya novel yang pernah diterbitkan ke publik umum, namun karya Oscar Wilde, The Picture of Dorian Gray, mungkin merupakan salah satu karya yang cukup banyak berpengaruh di dunia sastra. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1890, The Picture of Dorian Gray telah banyak diadaptasi ke berbagai bentuk media seperti teater, seni tari hingga film. Tahun lalu, sutradara Inggris, Oliver Parker, juga mengadaptasi kisah tersebut ke dalam sebuah bentuk film yang dibintangi oleh Ben Barnes dan diberi judul Dorian Gray.
Mengisahkan mengenai Dorian Gray (Barnes), seorang pemuda tampan yatim piatu yang baru saja diwarisi harta kekayaan yang cukup melimpah dari kakeknya. Oleh seorang pelukis, Basil Hallward (Ben Chaplin), yang mengagumi ketampanan Dorian, ia akhirnya menjadi obyek beberapa lukisan Basil. Oleh Basil pula, Dorian diperkenalkan kepada Lord Henry (Colin Firth), seorang bangsawan yang cukup ternama di kota London.
Perlahan, Dorian mulai menyerap berbagai filosofi hidup yang diterimanya oleh Lord Henry, yang sayangnya, mungkin bukanlah filosofi terbaik yang bisa didapatkan oleh seorang pemuda. Lord Henry mengajarkan Dorian bahwa semua hal tidak perlu melibatkan hati dan perasaan serta tujuan hidup adalah menikmati momen yang ada sekarang dengan bersenang-senang. Karena Lord Henry pula, Dorian akhirnya menjadi seperti terobsesi dengan masa muda dan wajah tampannya.
Obsesinya untuk tetap tampan dan muda tersebut ternyata membuat Dorian rela melakukan apa saja, termasuk, seperti yang dikatakannya pada Lord Henry, untuk menjual jiwanya pada setan. Perkataan ini ternyata menjadi semacam ‘kutukan’ tersendiri bagi Dorian. Ia ternyata terbukti dapat terus bertahan tampil muda dan tampan, dimana sebagai gantinya, lukisan dirinyalah yang terus menerus bertambah tua dan tampil buruk. Lebih dari itu, lukisan tersebut ternyata mencerminkan moral dari jiwa Dorian. Ketika Dorian lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, maka lukisan tersebut semakin lama semakin membusuk.
Berfokus pada diri Dorian Gray, sutradara Oliver Parker memilih aktor muda Ben Barnes sebagai pemeran karakter Dorian. Tidak salah, secara fisik Barnes sepertinya sangat sesuai dengan gambaran Dorian yang muda, tampan dan dengan gampang akan menarik perhatian gadis manapun yang melihatnya. Walau begitu, harus diakui pula Barnes tidak memiliki daya tarik yang cukup kuat sebagai seorang aktor utama. Kehadiran Barnes terasa sekali belum memiligi magnet yang tepat untuk dapat terus memikat perhatian penonton. Ini kemudian ditambah pula dengan akting dari Barnes yang masih dapat dikategorikan sebagai biasa saja.
Lemahnya penampilan Barnes juga disebabkan karena penampilannya harus menghadapi penampilan kuat dari para aktor senior yang mendampinginya, khususnya dari aktor Colin Firth, yang sering berbagi adegan dengannya. Sebagai Lord Henry, Firth tampil sempurna. Ia mampu membuat tokoh Lord Henry sebagai seorang karakter yang menarik, karakter yang menyuarakan apapun yang ada di pikirannya dan tak peduli dengan pendapat orang lain walaupun secara perlahan hal itu memberikan dampak buruk bagi orang lain. Firth tampil meyakinkan dan hampir selalu berhasil menjadi pertunjukan utama setiap ia berada di adegannya.
Naskah cerita film ini sendiri diadaptasi oleh Toby Finlay, yang harus mengadaptasi kisah The Picture of Dorian Gray yang cukup kompleks menjadi sebuah naskah cerita untuk sebuah film berdurasi 100 menit. Akibatnya, dapat dirasakan bahwa beberapa detil penceritaan film ini sepertinya tidak terlalu tergali dengan benar. Sisi penceritaan karakter seorang Dorian Gray juga sepertinya masih terasa kurang. Finlay sepertinya lebih berfokus pada kejadian-kejadian yang ada di sekitar kehidupan Dorian daripada memfokuskan mengenai bagaimana pribadi Dorian itu sendiri. Akibatnya, penonton yang seharusnya dapat merasakan bagaimana gejolak jiwa yang ada di diri Dorian, menjadi sama sekali tidak merasakan apa-apa terhadap karakter tersebut.
Walau begitu, beberapa titik kelemahan sisi cerita mampu ditutupi dengan cukup baik oleh keunggulan teknikal film ini. Sebagai sebuah naskah cerita yang telah dikenal sedikit berbau mistis dan gothic, sutradara Oliver Parker secara pintar mengaplikasikan mood tersebut ke sepanjang penceritaan gambar film ini. Gambar-gambar masa period kota London ditampilkan dengan gelap yang menghasilkan gambaran yang sedikit menyeramkan namun indah untuk dilihat. Beberapa tampilan efek khusus baik pewarnaan maupun efek CGI yang digunakan di bagian akhir film juga bekerja dengan baik dan memberikan tampilan yang sempurna.
Selain tata gambar, Dorian Gray juga cukup unggul dari sisi tata musiknya. Komposer Charlie Mole semenjak awal film berhasil menyediakan berbagai susunan musik yang sesuai menambah kesan gothic yang dimiliki film ini. Walaupun keunggulan musik tersebut dirasakan hanya sangat kuat pada awal film — sementara tampil biasa saja di durasi sisa film — namun secara keseluruhan tata musik film ini mampu turut bekerja menambah keunggulan film ini.
Secara keseluruhan, Dorian Gray dapat dikatakan cukup memiliki keunggulan yang mencolok dari sisi art direction. Pemilihan kostum, tata rias, lokasi dan sinematografi film ini sangat mendukung satu sama lain demi menciptakan suasana gothic nan misterius yang memang dimiliki oleh naskah cerita film ini. Terdapat beberapa kelemahan pada sisi naskah cerita — yang seharusnya dapat lebih tampil dramatis dan mempengaruhi pemikiran dan emosi para penontonnya — namun ternyata kurang tergali dengan baik. Para penonton yang kurang menyukai tipe penceritaan dengan alur yang berjalan sedikit lambat sebaiknya menghindari Dorian Gray, namun secara keseluruhan, film ini adalah sebuah karya yang cukup layak untuk diberikan kredit baik.
Rating: 3.5 / 5
Dorian Gray (Momentum Pictures, 2009)
Dorian Gray (2009)
Directed by Oliver Parker Produced by Barnaby Thompson Written by Toby Finlay (screenplay), Oscar Wilde (novel) Starring Ben Barnes, Colin Firth, Rebecca Hall, Ben Chaplin, Emilia Fox, Rachel Hurd-Wood, Fiona Shaw Music by Charlie Mole Cinematography Roger Pratt Editing by Guy Bensley Distributed by Momentum Pictures Country United Kingdom Language English

THE FIGHTER

Tak peduli betapa klise-nya kisah yang ditawarkan, film-film bertemakan olehraga rasanya tidak akan pernah kehilangan tempat di sisi para penggemar film dunia. Hal ini mungkin disebabkan karena tema olahraga itu sendiri – suatu obyek yang tidak mengenal perbedaan ras, suku, golongan maupun agama dimana seseorang dituntut untuk mampu mampu berkompetisi dengan adil, dengan semangat yang tinggi dan tidak kenal menyerah untuk merebut kemenangan – sangatlah dekat dengan kehidupan setiap manusia. Tidak peduli dimanapun seseorang berada, olahraga adalah sebuah kompetisi, sama seperti kehidupan dimana setiap orang berkompetisi untuk menjadi yang terbaik dari yang lain.
Setelah tahun lalu The Blind Side berhasil merebut perhatian setiap orang – sekaligus perhatian Oscar yang menempatkannya sebagai salah satu kontender Best Picture, adalah sangat aman untuk menyatakan bahwa karya teranyar sutradara David O. Russell, The Fighter, akan dengan  mudah mengikuti jejak The Blind Side. Sama-sama memiliki naskah cerita yang didasarkan oleh kisah nyata serta sama-sama mengisahkan perjuangan seorang atlit dalam memperoleh pencapaian terbaiknya, The Fighter sejujurnya sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru dalam cara penceritaannya. Namun dengan jajaran pemeran yang sangat menjanjikan, plus kisah drama keluarga yang cukup menarik, sekali lagi, film drama bertema olahraga ini akan sanggup untuk menyita perhatian banyak penontonnya.
Menjadi karya ketiga sutradara David O. Russell bersama aktor Mark Wahlberg, The Fighter mengisahkan perjalanan hidup “Irish” Micky Ward (Wahlberg), dalam menghadapi berbagai masalah pribadi dan keluarganya sebelum ia memperoleh kepopuleran sebagai seorang petinju profesional kelas dunia. Sepanjang hidupnya, Micky selalu merasa bahwa ia berada di bawah bayang-bayang saudara tirinya, Dicky Eklund (Christian Bale), seorang mantan petinju populer yang walaupun kini terjebak dalam masalah narkoba selalu berhasil menjadi perhatian utama bagi sang ibu, Alice (Melissa Leo). Dalam karir awalnya sebagai seorang petinju, Alice dan Dicky sendiri berperan sebagai seorang manajer dan pelatih bagi Micky. Namun setelah kekalahan beruntun yang dialaminya, Micky mulai merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu terhadap karir bertinjunya sebelum usianya menjadi terlalu tua.
Di saat yang sama, kehidupan percintaan Micky mulai tumbuh ketika ia bertemu seorang gadis penjaga bar bernama Charlene (Amy Adams). Lewat saran Charlene-lah Micky kemudian secara perlahan mulai berani untuk meninggalkan ibu, kakak dan keluarganya yang menentang keras keputusannya untuk mengembangkan karir petinjunya tanpa keterlibatan satupun anggota keluarganya. Konflik ini jelas membuat hubungan Micky dengan seluruh anggota keluarganya, khususnya sang kakak, Dicky, yang sangat dekat dengannya, menjadi menjauh.
Adalah sebuah keputusan yang sangat benar bagi Russell untuk memilihkan barisan pemeran dengan kemampuan akting yang sangat kuat untuk menambah pesona jalan cerita The Fighter yang sama sekali tidak istimewa itu. Keempat pemeran utama film ini melakukan akting yang sangat luar biasa untuk menghidupkan peran mereka. Yang paling mencolok tentu saja Christian Bale, yang sekali lagi, demi tuntutan peran sebagai seorang pengguna narkoba, bermain-main dengan berat badannya. Terlihat kurus, permainan Bale bukan melulu hanya soal berat badannya. Bale dengan sangat baik membawakan peran Dicky yang merupakan kepribadian yang sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan saudaranya, Micky. Dicky adalah seorang pria yang tidak pernah mengenal tanggung jawab, suka berbicara kasar tanpa henti dan selalu merasa superior akibat masa lalunya sebagai petinju yang pernah mengalahkan petinju Sugar Ray Leonard. Segala tingkah polah ini mampu dibawakan Bale dengan sangat baik, baik dengan kemampuan aktingnya maupun dengan hanya ekspresi wajahnya yang mampu berbicara mengenai kelelahan yang sebenarnya selalu dirasakan Dicky.
Tidak hanya Bale yang bermain-main dengan berat badan. Dalam memerankan Micky, Mark Wahlberg juga harus  berlatih keras untuk memperoleh fisik seorang petarung sejati. Hasilnya, secara fisik Wahlberg benar-benar terlihat sebagai seorang petinju tangguh yang sama sekali tidak dapat diragukan kemampuannya. Memang, karakter Micky tidak begitu membutuhkan kemampuan akting yang sangat mendalam. Namun tetap saja, peran Wahlberg sebagai Micky sama sekali tidak dapat dilihat secara sebelah mata. Peran Wahlberg sebagai Micky adalah salah satu peran terbaik yang pernah dilakonkan Wahlberg di sepanjang karir aktingnya.
Bale dan Wahlberg juga didampingi kehadiran dua aktris yang sama-sama kuat dalam permainan wataknya: Amy Adams dan Melissa Leo. Oh… Anda akan terkejut melihat apa yang Adams lakukan di dalam film ini. Sebagai Charlene, Adams berubah menjadi seseorang yang belum pernah Anda lihat dalam film-film yang ia perankan sebelumnya. Di sini, Adams berubah menjadi seorang wanita pinggiran kota yang keras, tangguh, sanggup berkata kasar dan membela diri saat diperlukan. Namun, tetap saja sosok Adams yang jelita tidak akan begitu saja menghilang dari karakter Charlene. Elemen tersebut, dengan sangat baik, memadu dengan ketangguhan seorang Charlene dan menjadikan karakter Charlene sebagai karakter wanita yang indah untuk dilihat namun sama sekali bukan seseorang yang dapat dengan mudah dipermainkan. She’s that hot!
Lalu ada Melissa Leo, aktris senior yang baru saja memperoleh kepopuleran mainstream setelah dinominasikan di ajang Academy Awards lewat perannya di Frozen River (2008). Sama seperti Adams, Leo di film ini bukan berperan sebagai wanita yang penuh kelemah lembutan. Karakter Alice yang ia perankan adalah karakter seorang ibu yang keras, yang memiliki sembilan orang anak dari beberapa pernikahan dan telah banyak mengecap manis pahit pengalaman hidup. Ada kelembutan dan rasa saying dari setiap tindakannya, namun hal tersebut tersembunyi dengan sangat kuat di balik kerasnya sikap yang ia tunjukkan setiap hari. Wahlberg, Bale, Adams dan Leo adalah nyawa utama dari film ini. Kemampuan mereka dalam menghidupkan setiap peran di film ini yang menjadikan The Fighter tidak tampil turun kelas menjadi sebuah film bertema olahraga kacangan.
Untuk filmnya sendiri, Russell sepertinya masih belum mampu menyeimbangkan elemen olahraga dengan elemen drama di dalam jalan cerita The Fighter. Seringkali, adegan-adegan pertarungan yang dijalani Micky Ward hanya sekedar dijadikan elemen tambahan di dalam jalan cerita yang membuat The Fighter kurang begitu memuaskan. Bahkan di adegan pertarungan akhir, sebuah pertandingan tinju yang dijadikan sebagai klimaks bagi jalan cerita The Fighter, Russell masih belum mampu memberikan sentuhan dramatis yang tepat. Kalau mau dibandingkan, adegan pertarungan akhir Micky Ward jauh terasa datar jika dibandingkan dengan pertarungan akhir yang dijalani karakter James J. Braddock di Cinderella Man (2005), film bertema tinju yang juga diangkat dari sebuah kisah nyata.
Entah apa yang terjadi jika saja David O. Russell tidak mampu membawa barisan pemeran yang kuat untuk menghidupkan setiap karakter yang ada di dalam jalan cerita The Fighter. Jalan ceritanya sama sekali tidak buruk, namun juga tidak menawarkan sesuatu yang baru bagi penontonnya. Kehidupan Micky Ward sendiri tidak begitu dramatis untuk menciptakan sebuah jalan cerita film yang menyentuh maupun mengikat. Beruntung keberadaan Mark Wahlberg, Christian Bale, Amy Adams dan Melissa Leo mampu menjadikan 115 menit durasi penayangan The Fighter masih sangat begitu dapat dinikmati.
Rating: 3.5 / 5
The Fighter (Relativity Media/The Weinstein Company/Mandeville Films/Paramount Pictures, 2010)
The Fighter (2010)
Directed by David O. Russell Produced by David Hoberman, Todd Lieberman, Ryan Kavanaugh, Mark Wahlberg, Dorothy Aufiero, Paul Tamasy Written by Scott Silver, Paul Tamasy, Eric Johnson (screenplay), Keith Dorrington, Paul Tamasy, Eric Johnson (story) Starring Mark Wahlberg, Christian Bale, Amy Adams, Melissa Leo, Jack McGee Music by Michael Brook Cinematography Hoyte van Hoytema Editing by Pamela Martin Studio Relativity Media/The Weinstein Company/Mandeville Films Distributed by Paramount Pictures Running time 115 minutes Country United States Language English

DUE DATE !!!

Lepas dari kesuksesan luar biasa The Hangover (2009), dan sebelum ia merilis sekuel film komedi tersebut tahun depan, sutradara Todd Phillips merilis Due Date, sebuah film komedi yang bertemakan road trip dengan Robert Downey, Jr. dan Zach Galifianakis sebagai bintang utamanya. Sebagai sutradara, jika melirik daftar filmografinya, Phillips bukanlah seorang sutradara yang selalu konsisten dalam menghantarkan kualitas filmnya. Banyak yang berhasil meraih pujian baik dari kritikus film maupun penonton, namun tidak sedikit pula yang berakhir sebagai sebuah kekecewaan. Walau tidak sampai pada tahap mengecewakan, sayangnya Due Date bukanlah sebuah film yang akan dianggap sebagai bagian dari momen terbaik karir penyutradaraan Todd Phillips.
Hal yang aneh, memang, mengingat Due Date memiliki dua bintang yang sepertinya memiliki berbagai hal yang diperlukan untuk membuat sebuah film komedi menjadi sebuah tontonan yang bekerja dengan baik: lucu dan menyegarkan. Well… kesalahan sepenuhnya memang tidak dapat diembankan pada Downey, Jr. dan Galifianakis karena memang dengan naskah cerita yang cenderung lemah dan terdengar terlalu familiar seperti yang dimiliki Due Date, rasanya seorang aktor dengan kapasitas komedi terbaik pun masih belum akan mampu menghantarkannya dengan baik.
Robert Downey, Jr. berperan sebagai Peter Highman, seorang calon ayah yang berada dalam perjalanan dari Atlanta menuju Los Angeles untuk menemani istrinya, Sarah (Michelle Monaghan), yang akan melahirkan anak pertama mereka. Perjalanan menuju Los Angeles sendiri telah dimulai dengan langkah yang buruk ketika Peter secara tidak sengaja bertemu dengan Ethan Tremblay (Galifianakis), seorang aktor yang juga bertujuan ke Los Angeles dengan membawa abu sang ayah yang baru saja meninggal dunia. Berbeda dengan Peter yang tenang, Ethan adalah seorang pria yang banyak bicara dan cenderung sering melakukan perbuatan yang mengganggu kenyamanan orang-orang di sekitarnya. Dan Peter akan segera menjadi salah satu dari orang-orang tersebut.
Setelah sebuah insiden antara Peter dan Ethan yang menyebabkan mereka diusir dari pesawat mereka, Peter – yang baru menyadari kalau ia meninggalkan dompet, identitas dan seluruh barang-barangnya di dalam pesawat, terpaksa menerima ajakan Ethan untuk berangkat ke Los Angeles dengan menggunakan mobil sewaan yang dikendarai Ethan. Dan seperti alur cerita komedi yang familiar lainnya, unsur-unsur komedi yang muncul di Due Date datang dari pertentangan kepribadian antara Peter dan Ethan yang tidak hanya sering menyebabkan mereka terjebak dalam sebuah masalah besar, namun juga hampir membuat mereka kehilangan nyawa mereka.
Tidak ada yang istimewa dalam Due Date. Kisah perjalanan Peter dan Ethan memang beberapa kali berhasil memberikan hiburan ketika mereka dikisahkan saling beradu mulut atau memiliki sikap yang berlawanan ketika menghadapi satu masalah. Sayangnya, unsur hiburan yang diberikan oleh Due Date hanya berhenti di titik tersebut, dengan tidak memberikan apapun lagi kepada para penontonnya. Ini membuat durasi film yang sebenarnya hanya sepanjang 85 menit terasa bagaikan sebuah perjalanan yang sangat panjang dan beberapa kali terasa cukup melelahkan.
Komedi yang ditawarkan di sepanjang alur cerita juga bukanlah sesuatu yang istimewa ketika Phillips hanya mampu memberikan barisan lelucon usang yang pasti telah sangat familiar bagi banyak penikmat film komedi. Mulai dari lelucon fisik hingga lelucon mengenai seks yang dihadirkan sama sekali tidak terasa segar, walaupun Downey, Jr. dan Galifianakis beberapa kali berhasil membawakan lelucon tersebut dengan baik dan membuatnya menjadi unsur yang menghibur.
Dari departemen akting, penampilan kedua aktor utama sama sekali tidak mengecewakan. Walau begitu, butuh beberapa saat untuk menghadirkan chemistry yang tepat antara keduanya. Selain Downey, Jr. dan Galifianakis, beberapa wajah familiar tampil sebagai pemeran pendukung dan cameo di sepanjang jalan cerita. Sayangnya, bagi mereka yang mengharapkan penampilan yang mampu mencuri perhatian besar seperti Ken Jeong di The Hangover, mereka sepertinya tidak akan mendapatkannya lewat Due Date akibat naskah yang sepertinya membatasi penampilan mereka.
Mereka yang memiliki ekspektasi besar kepada Due Date karena kesuksesan The Hangover dan dua nama aktor yang berada di barisan depan pemeran film ini sepertinya tidak akan mendapatkan sesuatu yang cukup memuaskan dari film ini. Robert Downey, Jr. dan Zach Galifianakis memang tampil maksimal, berhasil memberikan tawa dan hiburan pada beberapa adegan. Namun naskah yang lemah, dan kurangnya dukungan lelucon-lelucon segar yang dihadirkan, membuat Due Date menjadi bukanlah sebuah tontonan yang istimewa. Cukup menghibur, namun sama sekali tidak istimewa.
Rating: 3 / 5
Due Date (Legendary Pictures/Green Hat Films/Warner Bros., 2010)
Due Date (2010)
Directed by Todd Phillips Produced by Todd Phillips, Daniel Goldberg, Susan Downey Written by Alan R. Cohen, Alan Freedland, Adam Sztykiel, Todd Phillips (screenplay), Alan R. Cohen, Alan Freedland (story) Starring Robert Downey, Jr., Zach Galifianakis, Michelle Monaghan, Jamie Foxx, Rachel Kearns, Juliette Lewis, RZA, Matt Walsh, Danny McBride, Todd Phillips Music by Christophe Beck Cinematography Lawrence Sher Editing by Debra Neil-Fisher Studio Legendary Pictures/Green Hat Films Distributed by Warner Bros. Running time 85 minutes Country United States Language English

DEVIL

Sejujurnya, Manoj Nelliyattu Shyamalan, yang mungkin lebih populer bagi dunia sebagai M Night Shyamalan, adalah seorang sutradara yang tidak pernah muncul dengan karya yang sangat mengecewakan. Baiklah, lupakan kalau ia pernah terlalu bersemangat untuk mengadaptasi serial televisi animasi Avatar: The Last Airbender menjadi sebuah film live-action datar berjudul The Last Airbender dan merilisnya beberapa bulan yang lalu. Namun di luar dari film tersebut, serta di luar ekspektasi tinggi dunia yang menginginkan dirinya untuk kembali mengulangi kesuksesan The Sixth Sense (1999), karya-karya Shyamalan sebenarnya seluruhnya sangat dapat dinikmati. Penuh dengan imajinasi yang mungkin tidak begitu saja dapat dikonsumsi semua orang dengan mudah.
Well… selepas kegagalan besar yang bernama The Last Airbender tersebut – tetapi masih mampu mereguk keuntungan komersial yang cukup besar, Shyamalan kini kembali menghadirkan Devil, sebuah seri pertama untuk trilogi The Night Chronicles yang telah dirancangnya. The Night Chronicles sendiri akan kembali menempatkan Shyamalan di tempat terbaiknya, dimana ia akan berkisah mengenai kisah-kisah supernatural yang terjadi di masyarakat modern. Sayangnya (atau untungnya, bagi sebagian orang), untuk pembuatan filmnya sendiri, Shyamalan hanya akan bertindak sebagai penggagas ide serta produser dari setiap film tersebut. Untuk Devil, sutradara Quarantine (2008), John Erick Dowdle, yang duduk di kursi sutradara.
Ide yang ditawarkan, harus diakui, sangat menggiurkan. Menggunakan premis sebuah urban legend yang sering disebut sebagai A Devil’s Meeting, dimana setan yang berada di Bumi akan menyiksa para manusia pendosa untuk kemudian mengambil jiwa mereka, Devil berkisah mengenai lima orang asing yang oleh takdir dipertemukan dalam sebuah elevator di sebuah gedung. Dalam suatu kejadian yang aneh, elevator tersebut berhenti bekerja dan, tentu saja, menjebak kelima orang tersebut di dalamnya. Konflik mulai terjadi ketika salah satu dari kelima orang tersebut tiba-tiba tewas secara mengenaskan. Jelas rasa curiga mulai tumbuh diantara keempat orang lainnya dan saling menduga siapa pembunuh sebenarnya diantara mereka.
Detektif Bowden (Chris Messina), yang sedang menangani kasus bunuh diri di gedung yang sama, akhirnya turut turun tangan akibat adanya dugaan ada seorang pembunuh di dalam elevator tersebut. Dengan sebuah kamera pengawas, nyatanya Bowden hanya dapat menyaksikan orang-orang yang terjebak di dalam elevator tersebut mulai terbunuh satu persatu. Dengan sisa waktu yang terus bergerak, Bowden kini diharuskan untuk dapat menemukan jawaban teka-teki siapa pembunuh sebenarnya yang ada di dalam elevator tersebut.
Devil harus diakui adalah sebuah film yang memang menjadi kekuatan asli bagi Shyamalan: film thriller yang memadukan kisah supranatural, sentuhan reliji serta ditambah dengan jalan cerita misterius dan kehadiran sebuah twist ending. Sang sutradara, John Erick Dowdle, ternyata cukup mampu menjaga alur intensitas ketegangan Devil. Ditambah dengan iringan tata musik karya Fernando Velázquez di setiap adegan, Devil berhasil beberapa kali dalam mengantarkan jajaran shock therapy bagi para penontonnya.
Namun, Devil sama sekali bukan karya yang sempurna. Premis yang diberikan film ini memang cukup menarik, namun harus diakui, bahkan dalam durasi yang “hanya” sepanjang 80 menit, premis tersebut sempat terasa sebagai sebuah jalan cerita yang dipanjang-panjangkan. Hal ini dilakukan penulis naskah, Brian Nelson (30 Days of Night, 2007), dengan memberikan sedikit kisah personal dari tokoh utamanya, Detektif Bowden, serta berbagai usaha yang ia lakukan dalam memecahkan pertanyaan siapa pembunuh sebenarnya yang berada di dalam elevator tersebut. Sayangnya, jalinan kisah tersebut tak sepenuhnya berhasil. Begitu kontrasnya tingkat ketegangan yang terjadi antara kisah di dalam elevator dengan kisah di luar elevator, Devil beberapa kali sempat terasa sebagai sebuah sajian yang membosankan ketika fokus film ini tidak berada pada kelima karakter yang terjebak di dalam elevator.
Twist ending yang coba dihadirkan sendiri harus diakui cukup mampu memberikan kejutan tersendiri bagi para penontonnya. Penonton yang sedari awal telah diarahkan bahwa sang pembunuh adalah salah satu diantara mereka yang mampu bertahan hingga akhir, tentu akan terkejut dan dengan pemilihan ending yang dipilihkan Shyamalan. Dari departemen akting, tidak ada yang terlalu menonjol diantara para jajaran pemeran film ini. Para pemeran karakter yang terjebak bermain cukup baik dalam menghidupkan karakter mereka. Chris Messina, yang menjadi pemeran utama, juga melaksanakan tugasnya dengan baik. Tidak istimewa, karena beberapa kali Messina terasa terlalu membosankan, namun sama sekali tidak mengecewakan.
Apakah Devil akan mampu mengangkat kembali nama M Night Shyamalan yang terlanjur mendapat cap jelek dari para penikmat film dunia? Hanya waktu yang akan dapat menjawab pertanyaan tersebut. Namun dengan film ini, setidaknya dunia masih dapat melihat bahwa Shyamalan telah berusaha dengan sangat baik untuk melakukan hal tersebut. Sebagai sebuah thriller, Devil adalah sebuah film yang cukup intense dalam menghantarkan setiap jalinan cerita yang menegangkan. Terasa sedikit membosankan pada beberapa bagian, namun secara keseluruhan, Devil adalah hasil yang cukup memuaskan.

Devil (Media Rights Capital/The Night Chronicles/Blinding Edge Pictures/Universal Pictures, 2010)
Devil (2010)
Directed by John Erick Dowdle Produced by John Erick Dowdle, Drew Dowdle, M Night Shyamalan, Sam Mercer Written by Brian Nelson (screenplay), M Night Shyamalan (story) Starring Chris Messina, Bojana Novakovic, Bokeem Woodbine, Logan Marshall-Green, Jenny O’Hara, Geoffrey Arend, Jacob Vargas, Matt Craven Music by Fernando Velázquez Cinematography Tak Fujimoto Editing by Elliot Greenberg Studio Media Rights Capital/The Night Chronicles/Blinding Edge Pictures Distributed by Universal Pictures Running time 80 minutes Country United States Language English

Tangled (Rapunzel)

Walt Disney mungkin adalah nama yang cukup disegani di industri perfilman Hollywood – khususnya ketika membicarakan mengenai film-film animasi. Namun tidak dapat disangkal, tanpa adanya bantuan dari Pixar Animation Studios, mungkin nama Walt Disney di industri film animasi Hollywood telah lama tenggelam. Mereka sebenarnya tidak pernah tampil mengecewakan, tapi di luar film-film karya Pixar yang mereka distribusikan dan semenjak merilis The Lion King di tahun 1994, Walt Disney Animation Studios lebih sering merilis film-film animasi berkualitas ‘menengah’ daripada film-film animasi berkualitas klasik seperti yang dahulu pernah mereka hasilkan lewat Snow White and the Seven Dwarfs (1937), The Little Mermaid (1989), Beauty and the Beast (1990) atau Aladdin (1992).
Lewat Princess and the Frog (2009), Walt Disney Animation Studios kemudian mencoba menghidupkan kembali nama besar mereka – khususnya melalui kisah fairy tale yang dihidupkan lewat genre animasi musikal. Terbukti, Princess and the Frog berhasil meraih kesuksesan besar, baik secara kritikal maupun secara komersial. Bertepatan dengan perilisan karya mereka yang ke-50, Disney kembali mengolah sebuah kisah fairy tale klasik untuk kemudian dirilis ke dalam bentuk animasi musikal. Pilihan kali ini jatuh kepada kisah Rapunzel yang merupakan karya klasik dari Brothers Grimm. Tidak hanya memberikan sentuhan baru pada kisah tersebut – dan sebuah judul baru, Tangled, dengan kembali mengajak komposer langganan mereka, Alan Menken, Disney jelas bertekad kuat untuk kembali menghembuskan semangat film-film animasi klasiknya kepada film ini.
Kisahnya sendiri masih menyerupai kisah Rapunzel yang telah lama dikenal masyarakat luas. Bedanya, tidak ada seorang pangeran di dalam kisah ini yang datang untuk menyelamatkan sang putri. Yang ada hanyalah seorang penjahat tampan bernama Flynn Ryder (Zachary Levi) yang secara tidak sengaja masuk ke sebuah menara dimana Rapunzel (Mandy Moore) telah tinggal seumur hidupnya. Rapunzel sendiri tinggal di menara tersebut semenjak bayi setelah ia diculik oleh Mother Gothel (Donna Murphy) dari kedua orangtuanya yang merupakan raja dan ratu sebuah kerajaan. Mother Grothel sendiri menculik Rapunzel untuk memanfaatkan kekuatan magis rambut Rapunzel dan menjaganya agar tetap awet muda.
Walau pada awalnya sama sekali tidak mempercayai Flynn, Rapunzel akhirnya berhasil memaksa Flynn untuk mengajaknya keluar dari menara tersebut dan pergi melihat festival kerajaan yang digelar sang raja dan ratu untuk mengenang hilangnya putri tunggal mereka. Tentu saja, Rapunzel sangat senang ketika pertama kali ia berhasil menginjakkan kakinya di luar menara. Namun, kesenangan itu berubah menjadi sebuah petualangan ketika Flynn dan Rapunzel menjumpai banyak orang yang berniat menangkap Flynn. Ini masih ditambah lagi dengan berbagai usaha Mother Gothel untuk kembali mendapatkan Rapunzel setelah mengetahui bahwa dirinya lari dari menara tempat ia selama ini tinggal.
Ditulis oleh Dan Fogelman, seperti halnya film-film animasi klasik Disney lainnya, naskah cerita Tangled juga dipenuhi dengan alur kisah yang berisi berbagai adegan yang terasa segar, menghibur namun juga tak lupa tetap mampu menyentuh hati setiap penontonnya. Alur kisah klasik Rapunzel memang terkesan terlalu segmented untuk dapat dinikmati kalangan dewasa, namun Fogelman mampu memoles hal ini dengan sangat baik dan menjadikan Tangled cukup mampu untuk dinikmati oleh penonton muda maupun penonton dewasa. Kesan klasik film ini juga berhasil datang dari tampilan Tangled yang memang dirancang sedemikian rupa untuk memberikan kesan animasi hand-drawn walaupun sebenarnya tetap menggunakan teknologi CGI dalam memproduksi setiap gambarnya. Ini membuat Tangled tampil sangat indah, khususnya ketika film ini membutuhkan warna-warna alami nan terang untuk menghidupkan naskah ceritanya.
Pemilihan talenta suara untuk menghidupkan tiap karakter yang ada di dalam jalan cerita Tangled juga sepertinya tidak melalui hambatan yang berarti. Karakter suara Mandy Moore memang terdengar cukup pas dalam menghidupkan Rapunzel, namun Zachary Levi dan Donna Murphy-lah yang seringkali mencuri perhatian lebih lewat karakter suara yang mereka berikan lewat tokoh Flynn Ryder dan Mother Grothel. Hal ini mungkin dikarenakan dialog-dialog yang diberikan untuk keduanya memang lebih menarik jika dibandingkan dengan karakter-karakter lainnya.
Seperti biasa, Disney tak lupa memberikan beberapa karakter pendamping yang biasanya selalu menambah unsur komedi  di dalam jalan cerita. Kali ini, karakter-karakter pendamping tersebut muncul dalam bentuk hewan – seekor bunglon bernama Pascal dan seekor kuda bernama Maximus – yang walaupun tidak memiliki kemampuan untuk berbicara, namun tetap berhasil mencuri perhatian lewat tingkah polah mereka yang jelas akan mencuri hati sekaligus tawa setiap penonton film ini.
Walau telah terbiasa bekerja dengan Walt Disney Animation Studios, dan seringkali menghasilkan karya yang justru menjadi jiwa dan menambah nilai lebih dari setiap film animasi yang dihasilkan Disney, sayangnya kali ini karya yang dihasilkan komposer Alan Menken sepertinya kurang terlalu mampu untuk memberikan nilai lebih tersebut kepada Tangled. Tidak ada lagu-lagu berkualitas klasik a la Beauty and the Beast (Beauty and the Beast), A Whole New World (Aladdin) maupun So Close (Enchanted) di dalam Tangled. I See The Light yang dinyanyikan duet antara Mandy Moore dan Zachary Levi memang berhasil memberikan kesan klasik yang cukup mendalam, namun secara keseluruhan, lagu-lagu yang disajikan lewat beberapa adegan musikal Tangled terkesan terlalu ‘serius’ dan diiringi dengan lirik-lirik yang kurang begitu catchy untuk mudah diingat.
Adalah sangat mudah untuk jatuh cinta kepada setiap karya animasi yang dihasilkan oleh Walt Disney Animation Studios. Tangled adalah salah satunya. Dengan memanfaatkan kisah yang telah begitu familiar bagi banyak orang, Disney sekali lagi berhasil membuktikan bahwa, di luar bantuan Pixar, mereka masih patut diperhitungkan sebagai rumah produksi yang selalu berhasil memberikan karya-karya yang mampu menghibur sekaligus berkualitas tinggi. Walau hasil akhirnya masih jauh dari kualitas film-film animasi klasik Disney – terlebih dengan kurang mengenanya lagu-lagu yang dihasilkan Alan Menken untuk berbagai adegan musikal film ini – namun Tangled tetap berhasil muncul sebagai salah satu karya animasi terbaik sepanjang tahun ini.

Tangled (Rapunzel) (Walt Disney Animation Studios/Walt Disney Pictures, 2010)
Tangled (Rapunzel) (2010)
Directed by Nathan Greno, Byron Howard Produced by Roy Conli Written by Dan Fogelman (screenplay), Brothers Grimm (story) Starring Mandy Moore, Zachary Levi, Donna Murphy, Brad Garrett, Ron Perlman, Jeffrey Tambor, Richard Kiel, M. C. Gainey, Paul F. Tompkins Music by Alan Menken , Glenn Slater (songs and lyrics), Alan Menken (score) Editing by Tim Mertens Studio Walt Disney Animation Studios Distributed by Walt Disney Pictures Running time 100 minutes Country United States Language English

The Next Three Days

, ,
Setelah In the Valley of Elah (2007) yang sangat menyentuh namun sepertinya kurang berhasil mendapatkan perhatian yang lebih besar, pemenang dua Academy Awards, Paul Haggis, kini kembali ke kursi sutradara untuk mengarahkan Russell Crowe dan Elizabeth Banks dalam The Next Three Days. Film ini sendiri merupakan remake dari film Perancis yang menjadi debut penyutradaraan bagi sutradara Fred Cavayé, Pour Elle, yang sempat meraih kesuksesan besar ketika dirilis pada tahun 2008 silam.
The Next Three Days sendiri seperti ingin mempertanyakan kembali mengenai apa yang akan Anda lakukan untuk orang yang Anda cintai, suatu hal yang sepertinya ingin dibuktikan oleh John Brennan (Crowe) kepada istrinya, Lara (Banks), ketika sang istri dipenjara akibat terkena tuduhan telah membunuh bosnya. John, yang seorang guru, kemudian menghabiskan masa waktu tiga tahun untuk berusaha melakukan segala upaya hukum untuk dapat membuktikan bahwa sang istri tak bersalah. Namun, dalam jangka tiga tahun tersebut, John akhirnya menyadari bahwa kesempatan dirinya untuk dapat membebaskan Lara adalah sama sekali tidak mungkin.
John akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang mungkin akan dilakukan setiap suami lainnya ketika istri mereka dipenjara karena tuduhan yang sebenarnya tidak mereka lakukan: berusaha menembus penjara untuk kemudian melarikan sang istri. John kemudian menghabiskan masa waktu tiga bulan untuk melakukan observasi terhadap lingkungan penjara tempat Lara ditahan. Ia juga berkonsultasi dengan Damon Pennington (Liam Neeson), seorang penulis yang dahulunya popular sebagai seorang narapidana yang selalu berhasil meloloskan diri dari kurungan penjara. Seperti belum cukup menghadapi hambatan dalam usahanya, John kemudian mendapatkan surat pemberitahuan dari pihak kepolisian bahwa istrinya akan direlokasi ke penjara lainnya dalam waktu dekat. Kini, John hanya punya waktu tiga hari untuk melaksanakan seluruh rencananya dalam membebaskan sang istri.
Di tangan Paul Haggis, The Next Three Days terasa bagaikan sebuah film thriller yang berjalan terlalu pelan akibat banyaknya detil yang berusaha dimasukkan oleh Hagis di dalam jalan cerita film ini. Beberapa detil tersebut — kebanyakan berfokus pada kepribadian John Brennan ketika ia sedang tidak menyusun rencana besarnya yang sepertinya bahkan tidak terlalu signifikan untuk dimasukkan ke dalam jalan cerita — membuat beberapa bagian The Next Three Days berjalan terlalu menjemukan untuk disimak. Hal ini pula yang sepertinya membuat The Next Three Days berjalan lebih panjang daripada film aslinya.
Ritme perlahan tersebut kemudian berubah pada masa durasi satu jam terakhir film ini. The Next Three Days yang awalnya seperti sebuah drama yang berfokus pada karakterisasi setiap tokoh yang ada di dalam jalan ceritanya kemudian berubah menjadi sebuah thriller action ketika John Brennan digambarkan sedang berusaha mengeluarkan istrinya dari penjara. Di masa-masa inilah The Next Three Days mencapai masa puncaknya. Denganmenggunakan alur cepat, intensitas ketegangan yang terjaga dengan baik, dan ditambah dengan kemampuan setiap karakter yang terlibat dalam menghidupkan jalan cerita dengan baik, bagian ini sedikit banyak berhasil menghapuskan rasa lelah yang sebelumnya timbul akibat terlalu serius dan perlahannya The Next Three Days berjalan.
Walau jalan ceritanya kadang berjalan menjemukan, namun tak ada yang dapat meragukan performa Russell Crowe di film ini. Seringkali mendapatkan peran sebagai karakter yang heroik, Crowe sekali lagi mampu membuktikan bahwa ia adalah aktor yang brilian dengan keberhasilannya membuat karakter John Brennan menjadi seorang karakter yang membumi dan mudah dipercaya sebagai karakter pria yang dapat ditemukan di mana saja. Kemampuan dramatik Crowe membuat jalan cerita The Next Three Days yang sepertinya tidak terlalu masuk akal untuk benar-benar dapat dilaksanakan di dunia nyata terlihat menjadi cukup meyakinkan untuk diikuti.
Tidak hanya Crowe, Paul Haggis juga mendapatkan barisan pemeran pendukung yang sangat baik dalam melaksanakan tugas mereka. Walau karakter-karakter ini mendapatkan waktu tayang yang jauh lebih sedikit daripada Crowe, namun kehadiran merekalah yang seringkali membuat keefektifan penampilan Crowe menjadi lebih terasa. Elizabeth Banks mampu menampilkan kemampuan dramanya yang sepertinya semakin sering terasah akhir-akhir ini. Liam Neeson dan Brian Dennehy mendapatkan peran yang lebih minimal lagi, namun keduanya mampu tampil maksimal dalam menghidupkan peran mereka yang singkat.
Sebagai sebuah thriller, Paul Haggis sayangnya terlalu lamban dalam mengolah jalan cerita The Next Three Days. Haggis membutuhkan waktu lebih dari satu jam jalan cerita untuk melakukan karakterisasi yang mendalam terhadap setiap karakter – yang sayangnya, kadang malah terlalu dipenuhi oleh banyak detil yang sebenarnya tidak diperlukan untuk jalan cerita film ini. Ini berakibat buruk dalam menjadikan The Next Three Days cenderung menjadi membosankan. Haggis, untungnya, mengganti arah penceritaan film ini menjadi sebuah thriller yang berjalan cepat di satu jam akhir dan berhasil meningkatkan kembali intensitas ketegangan yang sedari awal sepertinya melempem. Barisan pemerannya memberikan penampilan yang sangat memuaskan dan untungnya mampu menjadikan The Next Three Days sebagai sebuah film yang tidak begitu mengecewakan.
The Next Three Days (Highway 61 Films/Lionsgate, 2010)
The Next Three Days (2010) Directed by Paul Haggis Produced byMichael Nozik, Olivier Delbosc, Paul Haggis, Marc Missonnier Written by Paul Haggis, Fred Cavayé Starring Russell Crowe, Elizabeth Banks, Liam Neeson, Brian Dennehy, Olivia Wilde, Jason Beghe, Lennie James, Aisha Hinds, Daniel Stern, RZA, Kevin Corrigan, Allan Steele Music by Danny Elfman Cinematography Stéphane Fontaine Studio Highway 61 Films Distributed by Lionsgate Running time 122 minutes Country United States Language English

INCEPTION

Setelah Memento dan The Dark Knight, sutradara Christopher Nolan kembali datang untuk menantang setiap penonton filmnya untuk dapat menggunakan sedikit pemikiran mereka dalam mengikuti salah satu film yang paling ditunggu untuk tahun ini, Inception. Merilisnya di saat musim panas, masa di mana Hollywood biasanya cenderung untuk merilis film-film popcorn yang hadir hanya sebatas hiburan belaka, tentu akan menjadi resiko tersendiri yang harus dihadapi Nolan. Namun, apakah Inception benar-benar sekompleks yang dibayangkan oleh setiap penontonnya?
Inception adalah sebuah film action thriller yang pintar. Sangat pintar… dan sebenarnya sangat mudah untuk diikuti. Ibarat berada di dalam sebuah labirin, kunci jawaban untuk keluar dari kerumitan Inception ada pada 45 menit awal dari durasi film ini yang harus Anda perhatikan dengan sangat baik. Jika Anda tersesat dan terjebak pada adegan awal film ini dan memutuskan bahwa film ini terlalu rumit untuk Anda ikuti, maka percayalah, Inception akan menjadi sebuah labirin yang akan menjebak pemikiran Anda.
Menggunakan konsep dream within a dream (dan itu adalah potongan kata-kata kunci yang harus Anda pegang selama menyaksikan film ini), Inception mengisahkan mengenai Domm Cobb (Leonardo DiCaprio), seorang penipu yang mampu mencuri ide seseorang dengan cara memasuki alam pemikirannya ketika orang tersebut sedang berada di alam mimpi. Kemampuan unik ini sering disebut sebagai sebuah kemampuan untuk melakukan extraction. Oleh Saito (Ken Watanabe), yang kagum akan kemampuan Cobb, ia diberikan sebuah tugas yang lebih berat lagi, yakni untuk melakukan penanaman ide di pemikiran seseorang, yang lazim disebut inception.
Untuk menjalankan tugas tersebut, Cobb mengajak rekan-rekannya, Arthur (Joseph Gordon-Levitt), yang merupakan sahabat dan orang kepercayaan Cobb, dan Eames (Tom Hardy), yang memiliki kemampuan untuk menirukan karakter lain. Mereka kemudian juga merekrut Yusuf (Dileep Rao), yang memiliki kemampuan dalam mengolah bahan kimia, serta Ariadne (Ellen Page), murid dari mertua Cobb, Miles (Michael Caine), yang memiliki kemampuan yang mengagumkan dalam hal arsitektur dan ditugaskan untuk membentuk sebuah alam mimpi.
Tugas mereka kini adalah memasuki alam mimpi Robert Fischer, Jr (Cillian Murphy), seorang pewaris sebuah perusahaan, dan menanamkan pemikiran bahwa ia harus menutup perusahaan ayahnya. Sebenarnya, dengan keberadaan tim yang solid dan memiliki kapabilitas yang baik, tugas ini diyakini dapat mudah untuk dilaksanakan. Namun, alam pikiran Cobb sendiri memiliki beberapa hal tersembunyi mengenai almarhumah istrinya, Mal (Marion Cotillard), yang seringkali mengganggu pemikiran Cobb dan akhirnya mengganggu kinerjanya ketika sedang bertugas.
Itu adalah beberapa dasar cerita dari Inception yang kemudian akan dilanjutkan dengan kisah Cobb dan rekan-rekannya yang menyelami alam mimpi Fischer dan melaksanakan tugasnya. Disinilah kompleksitas cerita Nolan mulai memberikan tantangan kepada para penontonnya untuk bertahan. Di dalam alam mimpi Fischer tersebutlah Nolan memberikan kreasi beberapa lapisan alam mimpi dengan memanfaatkan perbedaan waktu antara satu lapisan dengan lapisan lainnya: satu menit di dunia nyata sama dengan sepuluh menit di lapisan mimpi pertama, satu jam di lapisan mimpi kedua dan kurun tahunan dalam lapisan mimpi ketiga.
Tidak berhenti disitu, Nolan juga menambahkan alam mimpi buangan yang disebut dengan limbo. Di bagian inilah Nolan mengeksplorasi lebih banyak mengenai kepribadian Cobb, hubungan percintaan antara Cobb dan Mal di masa lalu dan menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan mereka yang menyebabkan Cobb selalu dihantui oleh bayang-bayang Mal. Dapat dimengerti mengapa Nolan masih bersusah payah untuk memasukkan unsur kisah cinta yang sebenarnya tidak akan berdampak banyak pada kisah utama film ini. Kisah cinta Cobb dan Mal ada untuk semakin memperumit kepribadian Cobb – sekaligus sedikit mengalihkan perhatian para penonton dari kisah cerita utama yang sedang berjalan.
Rangkaian berbagai kejadian di tiga (pada satu titik menjadi empat) lapisan alam mimpi yang ditampilkan di saat yang bersamaan inilah yang nantinya akan menjebak beberapa penonton dan memaksa mereka untuk menggunakan pemikiran mereka lebih keras. Ini ditambah lagi penampilan visual effect dan proses editing yang luar biasa rapi, menyebabkan Inception menjadi sebuah labirin yang sangat berliku dan membuat mereka tersesat di dalam jalan cerita yang sebenarnya sangat sederhana namun dilapisi berbagai  tampilan yang membuatnya terlihat begitu kompleks dan sukar untuk dilewati.
Walaupun tampil pintar, Inception tidaklah hadir tanpa kelemahan. Christopher Nolan sepertinya sangat berfokus pada kisah usaha Cobb dan rekan-rekannya untuk menembus alam mimpi Fischer, sehingga sepertinya lupa untuk memberikan pengembangan karakter yang lebih dalam kepada setiap karakter yang ada di dalam cerita ini. Kecuali Cobb — tidak akan banyak hal yang dapat digali dan diketahui dari setiap karakter, membuat para penonton kurang dapat terhubung dengan baik dengan mereka. Tidak masalah jika Anda adalah seorang yang lebih mengutamakan tampilan luar. Namun bukankan Inception akan lebih berkesan ketika kita menjadi benar-benar peduli dan memiliki hubungan emosional mengenai apa yang terjadi pada Cobb, Arthur, Eames atau Ariadne?
Inception adalah sebuah kontender kuat di sisi teknikal, termasuk dari tata musiknya yang dikerjakan oleh Hans Zimmer. Masih ingat dengan tata musik Zimmer yang ia hasilkan untuk Sherlock Holmes dan Angels and Demons tahun lalu? Mendebarkan, menegangkan dan memacu adrenalin. Tingkatkan intensitas ketegangan tersebut sebanyak minimal tiga kali dan Anda akan mendapatkan tata musik yang dihasilkan Zimmer untuk Inception. Begitu mengisi emosi dan ketegangan dengan sangat baik di setiap adegan film ini.
Nolan tentu saja tidak akan melepaskan Anda dengan mudah walaupun telah menjejali berbagai kebingungan di pemikiran Anda selama 148 menit. Ending film ini dipastikan akan menyisakan begitu banyak tanda tanya pada setiap penontonnya. Namun perjalanan menuju bagian ending tersebut adalah yang paling berarti dari Inception. Nolan telah memberikan sebuah persembahan yang sangat apik melalui film ini. Walaupun tidak menawarkan banyak pada departemen akting – tidak berarti jajaran aktor dan aktris kelas atas di sini bermain buruk. Bagus, namun tidak istimewa – serta kurangnya unsur kejutan yang biasanya selalu ditemukan di film-film Nolan, Inception berhasil tampil sangat mengagumkan dan dipastikan akan memuaskan setiap penonton filmnya… jika mereka tidak tersesat di dalam labirin kisah film ini.

Inception (Legendary Pictures/Syncopy Films/Warner Bros. Pictures, 2010)
Inception (2010)
Directed by Christopher Nolan Produced by Christopher Nolan, Emma Thomas Written by Christopher Nolan Starring Leonardo DiCaprio, Ken Watanabe, Joseph Gordon-Levitt, Marion Cotillard, Ellen Page, Tom Hardy, Cillian Murphy, Dileep Rao, Tom Berenger, Michael Caine, Lukas Haas, Talulah Riley, Pete Postlethwaite Music by Hans Zimmer Cinematography Wally Pfister Editing by Lee Smith Studio Legendary Pictures/Syncopy Films Distributed by Warner Bros. Pictures Running time 148 minutes Country United States Language English

D'LOVE

Dari Helfi Kardit, seorang sutradara yang terkenal dengan karya-karyanya seperti Hantu Bangku Kosong, Mengaku Rasul hingga Arisan Brondong, hadirlah D’Love, yang secara mengagumkan mampu merangkum seluruh hal-hal klise yang ada di perfilman Indonesia di dalam durasinya yang hanya sepanjang 90 menit itu. Mulai dari cinta segitiga, karakter yang broken home, karakter yang terpaksa menjual dirinya untuk memenuhi kebutuhan hidup, karakter gay hingga karakter yang harus menderita sakit terangkum dan dimanfaatkan dengan sangat baik di film ini.
Mampu merangkum seluruh karakter tersebut, bukan lantas berarti D’Love adalah sebuah film yang dapat dibanggakan keberadaannya di sejarah perfilman Indonesia. Karakter-karakter yang ada di dalam sebuah jalan cerita tentu saja dihadirkan untuk kemudian mendapatkan sebuah pendalaman yang akan membuat karakternya benar-benar terasa nyata dan mampu membentuk jalinan chemistry yang tepat dengan penontonnya. Untuk poin yang ini, menyaksikan D’Love bukanlah sebuah pengalaman terbaik yang akan Anda dapatkan.
D’Love sendiri memfokuskan kisahnya pada Elmo (Agung Saga), seorang pemuda yang memilih meninggalkan rumah mewah orangtuanya setelah menyadari bahwa sang ayah adalah seorang koruptor. Untuk menyambung hidup, Elmo harus menjadi petarung aduan di jalan. Meski hidupnya liar, Elmo tetap tak mau berhenti sekolah. Sahabat Elmo, Neina (Rebecca Reijman) tahu benar alasan Elmo bertahan di dua dunia yang serba bertentangan itu adalah karena Aprilia (Aurelie Mouremans).
Elmo dan Aprilia sendiri telah semenjak lama merasa saling tertarik. Namun Elmo yang sudah bersumpah untuk meninggalkan dunia kemapanan yang dianggapnya penuh orang munafik itu berusaha keras untuk menyangkal rasa cintanya pada April hanya karena April adalah seorang pianis muda yang glamour dan juga putri tunggal pengusaha ternama, Baskara (Ahmad Albar). Atas desakan Neina, Elmo akhirnya berani mengajak April memasuki dunianya dan bahkan bersahabat dengan Bocor (Rizky Adrianto), anak jalanan yang selama ini mengekor kemana pun Elmo pergi. Elmo sama sekali tak menyadari bahwa hubungannya dengan April sebenarnya membuat hati Neina hancur karena selama ini diam-diam Neina mencintai Elmo.
Tidak banyak yang dapat diungkapkan dari D’Love selain bahwa film ini terlalu berusaha untuk mempersulit plot cerita yang sebenarnya sangatlah simpel dengan berkali-kali menimpakan permasalahan pada sang karakter utama. Sayangnya, hal tersebut justru tidak dilakukan dengan sangat baik, bahkan satu masalah seringkali terlihat menjadi hanya sekedar tempelan belaka sebelum permasalahan baru muncul, yang menyebabkan D’Love menjadi sebuah film yang sangat datar semenjak awal hingga ke penghujung durasi film ini.
Ketiga pemeran utama film ini seharusnya tidak harus melalui permasalahan besar dalam memerankan karakter mereka, yang kalau mau diteliti dengan baik, sebenarnya sangatlah minim dialog. Lihat saja karakter Neina yang diperankan oleh Rebecca Reijman. Setiap kali tampil, Rebecca hanya mengucapkan sepatah dua kata dan tak pernah terlibat dalam sebuah percakapan panjang. Sama halnya dengan dua karakter lain, Elmo dan Aprilia yang diperankan oleh Agung Saga dan Aurelie Mouremans.
Permasalahannya bukan muncul karena ketiga karakter utama tersebut memiliki dialog yang minim. Masalah utama muncul karena ketiga pemerannya sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menghidupkan peran mereka dan seringkali terlihat mengucapkan dialog mereka dengan tone dan ekspresi wajah yang  teramat datar, khususnya sang pemeran utama, Agung Saga. Sudahlah karakternya diceritakan sedikit plin-plan dalam menentukan pilihan cintanya, datarnya permainan Agung juga membuat penonton perlahan-lahan mulai menjauhi karakternya.
Jika ketiga aktor utamanya mendapatkan bagian dialog yang sedikit, maka pemeran pendukung cilik, Rizky Adrianto, mendapatkan banyak kesempatan untuk berdialog panjang. Helfi Kardit mungkin ingin menempatkan karakter Bocor yang diperankan Rizki sebagai sidekick dari Elmo yang mampu menghibur penonton dengan tingkah polahnya dan gaya bicara yang semaunya. Beberapa kali, karakter Bocor mengungkapkan beberapa dialog yang seharusnya lucu, namun entah mengapa, cara penyampaian Rizky justru membuatnya seperti mengesalkan.
Pemeran pendukung lainnya, aktor senior Ahmad Albar, juga tidak akan mendapatkan penilaian yang positif atas peran kakunya sebagai seorang ayah yang gay. Karakter gay di film ini benar-benar hanya menjadi sebuah gimmick belaka ketika Helfi Kardit gagal dalam mengembangkan karakter tersebut lewat dialog-dialog yang (inginnya terdengar) bijaksana serta chemistry yang gagal antara Ahmad Albar dan Aurelie Mouremans.
Kesalahan utama D’Love terletak pada jajaran pemerannya yang terlihat sama sekali tidak berusaha untuk menghidupkan karakter mereka atas dasar sebuah naskah cerita yang memang dangkal tersebut. Dari sisi naskah, D’Love sendiri juga sangat terasa sebagai sebuah film yang terlalu berusaha untuk terlihat pintar dengan banyaknya variasi karakter serta tambahan plot cerita, yang ketika tidak berhasil dieksekusi dengan baik, justru membuat kualitas D’Love sebagai sebuah film semakin terpuruk tajam. Membosankan.

D'Love (Bintang Timur Films/Dreamcatcher Pictures, 2010)
D’Love (2010)
Directed by Helfi Kardit Produced by Fanny Nasry, Helfi Kardit Written by Amorita D Starring Aurelie Mouremans, Rebecca Reijman, Agung Saga, Ahmad Albar, Rizky Adrianto, Shierly Rushworth Music by Tya Subiakto Satrio Studio Bintang Timur Films/Dreamcatcher Pictures Country Indonesia Language Indonesian

The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Treader

One man’s trash is another man’s treasure. Setelah menilai bahwa seri kedua dari adaptasi kisah cerita The Chronicles of Narnia, Prince Caspian, kurang begitu berhasil dalam menarik minat penonton, Walt Disney Pictures akhirnya memutuskan untuk melepaskan hak distribusinya, yang kemudian membuat Walden Media – pemegang hak perilisan setiap adaptasi dari The Chronicles of Narnia – memberikan hak distribusi tersebut kepada 20th Century Fox. Perubahan ini sepertinya berhasil memberikan sedikit angin segar dalam gaya penceritaan seri ini. Walau jalan ceritanya tidak sekompleks dua seri terdahulunya, namun seri ketiga ini, The Voyage of the Dawn Treader, harus diakui berhasil menjadi seri yang paling menghibur dari seri film The Chronicles of Narnia yang ada hingga saat ini.
Berlatar belakang setahun setelah petualangan yang dialami Pevensie bersaudara di seri kedua, kisah The Voyage of the Dawn Treader kini berfokus pada Edmund Pevensie (Skandar Keynes) dan Lucy Pevensie (Georgie Henley) yang saat ini sedang tinggal di rumah pamannya ketika mereka sedang ditinggal oleh kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Kehidupan Edmund dan Lucy sendiri berjalan kurang menyenangkan, khususnya lagi akibat gangguan yang selalu diberikan keponakan mereka, Eustace Scrubb (Will Poulter). Namun, kehidupan yang kurang menyenangkan tersebut berubah drastis ketika Edmund dan Lucy secara tiba-tiba berpindah kembali ke Narnia – negeri dongeng yang telah lama mereka rindukan. Tidak hanya Edmund dan Lucy yang berpindah, Eustace yang saat kejadian tersebut sedang bersama mereka juga turut berpindah ke Narnia.
Bertiga, mereka kembali bertemu dengan Caspian (Ben Barnes), yang saat ini telah menjadi raja dari Narnia. Caspian sendiri saat ini sedang berada di kapal yang diwariskan oleh sang ayah kepadanya, Dawn Treader, dan sedang dalam perjalanan untuk menemukan tujuh bangsawan Narnia yang pada masa kepemimpinan Miraz diasingkan untuk mengamankan posisinya sebagai pemimpin Narnia. Tujuan Caspian sendiri dalam menemukan ketujuh bangsawan ini tak lain adalah karena ingin menyelamatkan Narnia dari sebuah kekuatan magis yang tak diketahui yang saat ini sedang mengintai dan membahayakan posisi Narnia. Dalam perjalanan inilah, ketika kapal Dawn Treader singgah dari satu daratan ke daratah lainnya, Edmund, Lucy, Eustace, Caspian dan seluruh awak kapal Dawn Treader menghadapi banyak petualangan yang tidak hanya menguji kekuatan fisik mereka, namun juga menguji kekuatan mental dan rasa persahabatan mereka.
Jika petualangan Harry Potter terlihat semakin gelap, bergerak semakin lamban dan ditampilkan dengan durasi yang lebih lama ketika melanjutkan kisah petualangannya, maka seri petualangan The Chronicles of Narnia bergerak ke arah yang sebaliknya. Jika dibandingkan dengan dua seri sebelumnya yang telah hadir, adalah sangat mudah untuk mengidentifikasi The Voyage of the Dawn Treader sebagai bagian seri petualangan The Chronicles of Narnia yang lebih ringan dan lebih menyenangkan untuk disimak jalan ceritanya. Di sisi lain, ‘kesederhanaan’ jalan cerita ini pula yang justru yang menjadi satu-satunya titik kelemahan dari The Voyage of the Dawn Treader.
Para pembaca setia seri The Chronicles of Narnia mungkin akan dengan demikian cepat menyadari bahwa The Voyage of the Dawn Treader adalah versi singkat dari deretan petualangan yang sebenarnya telah dituliskan oleh C. S. Lewis dalam versi buku ceritanya. Mempersingkat jalan cerita dan membuatnya menjadi demikian sederhana sebenarnya bukanlah sebuah ‘kejahatan’ jika Anda ingin mengadaptasi sebuah buku menjadi sebuah naskah cerita. Namun, tentu saja, Anda tidak dapat melewatkan beberapa hal esensial yang sebenarnya menjadi inti dari jalan cerita buku tersebut. Dalam kasus The Voyage of the Dawn Treader, tim penulis naskah sepertinya terlalu berfokus pada kisah-kisah petualangan yang ditemui para karakternya dan sedikit melupakan mengenai apa tujuan sebenarnya dari perjalanan yang dilakukan oleh Caspian dengan kapal Dawn Treader-nya. Penonton hanya mendapatkan informasi yang minim mengapa hal tersebut dan beberapa hal lainnya yang terjadi di dalam jalan cerita versi film The Voyage of the Dawn Treader.
Terlepas dari jalan cerita yang ‘terlalu’ sederhana, The Voyage of the Dawn Treader sebenarnya adalah sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan untuk disimak. Para karakter yang dihadirkan di sepanjang jalan cerita terlihat sangat mampu untuk menghidupkan jalan cerita – kemungkinan besar karena para pemerannya yang telah semakin nyaman dalam memerankan karakter-karakter mereka. Keputusan sutradara, Michael Apted (The World is Not Enough, 1999), untuk menekankan sisi petualangan daripada sisi dramatis juga tidak berdampak buruk pada film ini. Memilih untuk menceritakan jalan cerita dengan alur yang cepat, membuat The Voyage of the Dawn Treader menjadi begitu mudah untuk diselami jalan ceritanya.
Penceritaan yang cepat juga tak membuat Apted lupa untuk memasukkan unsur emosional yang menyentuh ke dalam kisah petualangan ini. Memanfaatkan premis ‘petualangan terakhir’ Edmund dan Lucy di dunia Narnia, yang dihadirkan di penghujung film, Apted berhasil dengan sangat baik menampilkan kedekatan antara satu karakter dengan karakter lainnya dan membuat The Voyage of the Dawn Treader seperti sebuah kisah petualangan di dunia Narnia terakhir yang sangat menyentuh. Ditambah dengan iringan tata musik karya komposer David Arnold, bagian ‘perpisahan’ antara Edmund dan Lucy dengan Aslan (diisisuarakan oleh Liam Leeson), Caspian dan dunia Narnia karena kedewasaan mereka merupakan bagian terbaik dalam The Voyage of the Dawn Treader yang akan berhasil menyentuh siapapun yang menontonnya.
Faktor lain yang merupakan sebuah kesuksesan besar bagi Apted dalam menggarap The Voyage of the Dawn Treader adalah keberhasilannya dalam menterjemahkan petualangan setiap karakter yang ada di dalam jalan cerita lewat pemilihan gambar-gambar yang sangat indah untuk disaksikan. Latar belakang cerita yang berada di lautan juga dapat dioptimalkan dengan baik oleh Apted lewat pemilihan untuk menggunakan teknologi 3D dalam merepresentasikan kisah film ini. Tidak dapat disangkal bahwa penggunaan teknologi 3D dalam The Voyage of the Dawn Treader merupakan salah satu pemanfaatan teknologi 3D terbaik di sepanjang tahun ini.
Bergerak ke arah yang berlawanan dari jalur yang ditempuh oleh petualangan Harry Potter dalam menceritakan lanjutan kisah petualangannya, The Voyage of the Dawn Treader harus diakui sedikit kehilangan esensi ceritanya ketika ditampilkan lewat jalan cerita yang ringkas tersebut. Namun untungnya, hal tersebut tidak terlalu berarti banyak dalam kenikmatan siapapun dalam menyimak jalan ceritanya. Membuang beberapa bagian yang terasa kurang begitu penting dan memilih untuk lebih menonjolkan sisi petualangan dari setiap karakter yang ada dengan alur cerita yang cepat – serta memanfaatkan teknologi 3D dengan sangat baik, sutradara Michael Apted berhasil menjadikan The Voyage of the Dawn Treader sebagai bagian yang paling menyenangkan dari seluruh seri The Chronicles of Narnia yang telah diadaptasi dalam bentuk film. Sebuah kemajuan pesat dari adaptasi kisah The Chronicles of Narnia yang membuat kelanjutan seri ini menjadi layak untuk ditunggu di masa yang akan datang.


The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Treader (Walden Media/20th Century Fox, 2010)
The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Treader (2010)
Directed by Michael Apted Produced by Mark Johnson, Andrew Adamson, Philip Steuer, Douglas Gresham Written by Christopher Markus, Stephen McFeely, Michael Petroni (screenplay), C. S. Lewis (novel) Starring Georgie Henley, Skandar Keynes, Will Poulter, Ben Barnes, Liam Neeson, Simon Pegg, Gary Sweet, William Moseley, Anna Popplewell, Tilda Swinton Music by David Arnold, Harry Gregson-Williams
(themes) Cinematography Dante Spinotti Editing by Rick Shaine Studio Walden Media Distributed by 20th Century Fox Running time 115 minutes Country United Kingdom, United States Language English