Sejujurnya, Manoj Nelliyattu Shyamalan, yang mungkin lebih populer bagi dunia sebagai M Night Shyamalan, adalah seorang sutradara yang tidak pernah muncul dengan karya yang sangat mengecewakan. Baiklah, lupakan kalau ia pernah terlalu bersemangat untuk mengadaptasi serial televisi animasi Avatar: The Last Airbender menjadi sebuah film live-action datar berjudul The Last Airbender dan merilisnya beberapa bulan yang lalu. Namun di luar dari film tersebut, serta di luar ekspektasi tinggi dunia yang menginginkan dirinya untuk kembali mengulangi kesuksesan The Sixth Sense (1999), karya-karya Shyamalan sebenarnya seluruhnya sangat dapat dinikmati. Penuh dengan imajinasi yang mungkin tidak begitu saja dapat dikonsumsi semua orang dengan mudah.
Well… selepas kegagalan besar yang bernama The Last Airbender tersebut – tetapi masih mampu mereguk keuntungan komersial yang cukup besar, Shyamalan kini kembali menghadirkan Devil, sebuah seri pertama untuk trilogi The Night Chronicles yang telah dirancangnya. The Night Chronicles sendiri akan kembali menempatkan Shyamalan di tempat terbaiknya, dimana ia akan berkisah mengenai kisah-kisah supernatural yang terjadi di masyarakat modern. Sayangnya (atau untungnya, bagi sebagian orang), untuk pembuatan filmnya sendiri, Shyamalan hanya akan bertindak sebagai penggagas ide serta produser dari setiap film tersebut. Untuk Devil, sutradara Quarantine (2008), John Erick Dowdle, yang duduk di kursi sutradara.
Ide yang ditawarkan, harus diakui, sangat menggiurkan. Menggunakan premis sebuah urban legend yang sering disebut sebagai A Devil’s Meeting, dimana setan yang berada di Bumi akan menyiksa para manusia pendosa untuk kemudian mengambil jiwa mereka, Devil berkisah mengenai lima orang asing yang oleh takdir dipertemukan dalam sebuah elevator di sebuah gedung. Dalam suatu kejadian yang aneh, elevator tersebut berhenti bekerja dan, tentu saja, menjebak kelima orang tersebut di dalamnya. Konflik mulai terjadi ketika salah satu dari kelima orang tersebut tiba-tiba tewas secara mengenaskan. Jelas rasa curiga mulai tumbuh diantara keempat orang lainnya dan saling menduga siapa pembunuh sebenarnya diantara mereka.
Detektif Bowden (Chris Messina), yang sedang menangani kasus bunuh diri di gedung yang sama, akhirnya turut turun tangan akibat adanya dugaan ada seorang pembunuh di dalam elevator tersebut. Dengan sebuah kamera pengawas, nyatanya Bowden hanya dapat menyaksikan orang-orang yang terjebak di dalam elevator tersebut mulai terbunuh satu persatu. Dengan sisa waktu yang terus bergerak, Bowden kini diharuskan untuk dapat menemukan jawaban teka-teki siapa pembunuh sebenarnya yang ada di dalam elevator tersebut.
Devil harus diakui adalah sebuah film yang memang menjadi kekuatan asli bagi Shyamalan: film thriller yang memadukan kisah supranatural, sentuhan reliji serta ditambah dengan jalan cerita misterius dan kehadiran sebuah twist ending. Sang sutradara, John Erick Dowdle, ternyata cukup mampu menjaga alur intensitas ketegangan Devil. Ditambah dengan iringan tata musik karya Fernando Velázquez di setiap adegan, Devil berhasil beberapa kali dalam mengantarkan jajaran shock therapy bagi para penontonnya.
Namun, Devil sama sekali bukan karya yang sempurna. Premis yang diberikan film ini memang cukup menarik, namun harus diakui, bahkan dalam durasi yang “hanya” sepanjang 80 menit, premis tersebut sempat terasa sebagai sebuah jalan cerita yang dipanjang-panjangkan. Hal ini dilakukan penulis naskah, Brian Nelson (30 Days of Night, 2007), dengan memberikan sedikit kisah personal dari tokoh utamanya, Detektif Bowden, serta berbagai usaha yang ia lakukan dalam memecahkan pertanyaan siapa pembunuh sebenarnya yang berada di dalam elevator tersebut. Sayangnya, jalinan kisah tersebut tak sepenuhnya berhasil. Begitu kontrasnya tingkat ketegangan yang terjadi antara kisah di dalam elevator dengan kisah di luar elevator, Devil beberapa kali sempat terasa sebagai sebuah sajian yang membosankan ketika fokus film ini tidak berada pada kelima karakter yang terjebak di dalam elevator.
Twist ending yang coba dihadirkan sendiri harus diakui cukup mampu memberikan kejutan tersendiri bagi para penontonnya. Penonton yang sedari awal telah diarahkan bahwa sang pembunuh adalah salah satu diantara mereka yang mampu bertahan hingga akhir, tentu akan terkejut dan dengan pemilihan ending yang dipilihkan Shyamalan. Dari departemen akting, tidak ada yang terlalu menonjol diantara para jajaran pemeran film ini. Para pemeran karakter yang terjebak bermain cukup baik dalam menghidupkan karakter mereka. Chris Messina, yang menjadi pemeran utama, juga melaksanakan tugasnya dengan baik. Tidak istimewa, karena beberapa kali Messina terasa terlalu membosankan, namun sama sekali tidak mengecewakan.
Apakah Devil akan mampu mengangkat kembali nama M Night Shyamalan yang terlanjur mendapat cap jelek dari para penikmat film dunia? Hanya waktu yang akan dapat menjawab pertanyaan tersebut. Namun dengan film ini, setidaknya dunia masih dapat melihat bahwa Shyamalan telah berusaha dengan sangat baik untuk melakukan hal tersebut. Sebagai sebuah thriller, Devil adalah sebuah film yang cukup intense dalam menghantarkan setiap jalinan cerita yang menegangkan. Terasa sedikit membosankan pada beberapa bagian, namun secara keseluruhan, Devil adalah hasil yang cukup memuaskan.
Devil (2010)
Directed by John Erick Dowdle Produced by John Erick Dowdle, Drew Dowdle, M Night Shyamalan, Sam Mercer Written by Brian Nelson (screenplay), M Night Shyamalan (story) Starring Chris Messina, Bojana Novakovic, Bokeem Woodbine, Logan Marshall-Green, Jenny O’Hara, Geoffrey Arend, Jacob Vargas, Matt Craven Music by Fernando Velázquez Cinematography Tak Fujimoto Editing by Elliot Greenberg Studio Media Rights Capital/The Night Chronicles/Blinding Edge Pictures Distributed by Universal Pictures Running time 80 minutes Country United States Language English
Tidak ada komentar:
Posting Komentar